Divestasi Belum Jelas, Freeport Malah Didukung Ekspor Mineral

Kementerian ESDM mengaku tengah memproses izin ekspor lima perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 14 Apr 2014, 19:59 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2014, 19:59 WIB
Tambang Freeport
Ilustrasi Pertambangan (Foto:Antara)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tengah memproses izin ekspor lima perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia.

Padahal perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu masih berharap pemerintah menyetujui lobi-lobi divestasi (lepas saham) 20% atau lebih rendah dari poin renegosiasi kontrak sebesar 30%.

"Sedang diproses. Kita harapkan dalam waktu dekat sudah bisa dikeluarkan," ungkap Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo di Jakarta, Senin (14/4/2014),

Dia menyebut, perusahaan dapat mengantongi izin ekspor mineral olahan (konsentrat), termasuk Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara apabila memenuhi persyaratan.

"Harus mengikuti tahapan yang banyak untuk bisa melakukan ekspor, yakni harus ada Eksportir Terdaftar (ET)dan ada surat rekomendasi ekspor," terangnya.

Susilo menyebut, saat ini pihaknya tengah menggodok izin dari lima perusahaan tambang, yakni Freeport, Newmont, PT Sebuku Iron Lateritic Ores, PT Daya Swasta, dan PT Lumbung Mineral.

Sayangnya, dia tak bisa memastikan kapan izin ekspor tersebut rilis. "Secepatnya, dalam waktu dekat akan keluarlah. Cepat atau lambat keluarnya, tergantung dari banyak pihak," katanya.

Di sisi lain, Susilo mengaku, bakal merampungkan proses renegosiasi kontrak karya dan PKP2B dalam kurun waktu dua bulan ini, termasuk renegosiasi dengan Freeport. Dia menilai tak ada masalah dalam renegosiasi dengan perusahaan tambang emas itu. "Nggak ada, cuma wordingnya doang. Prinsip-prinsip dasarnya mereka sudah sepakati," ucapnya.

Sementara soal keinginan Freeport untuk melakukan divestasi sebesar 20% ditampik Susilo. Menurutnya, pemerintah akan meminta divestasi dengan porsi saham setinggi-tingginya.

"Kalau kata humasnya itu pasti normatif, yang negosiasi kan bukan humasnya, tapi ada tim negosiasi. Kalau kita sih mintanya setinggi-tingginya pokoknya di atas 20%," jelasnya.

Dia menerangkan, keputusan divestasi tersebut tentu cukup berat karena ada kompleksitas tertentu sehingga perlu menjadi pertimbangan matang bagi pemerintah dan Freeport.

"Yang jadi pertimbangan kan, satu negara harus dapat bagian besar, tapi di sisi lain perusahaan juga harus bisa jalan karena kalau nggak, urusannya nanti untuk pendapatan negara dan tenaga kerja," tandas Susilo.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya