Liputan6.com, Jakarta - Kuasa Hukum PT Angkasa Pura II dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk menilai, keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) soal pelanggaran larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam perkara jasa penyediaan jaringan telekomunikasi atau e-Pos dinilai kurang tepat. Hal itu karena, e-Pos bukan berbentuk pengadaan barang dan jasa sehingga seharusnya tidak melanggar aturan itu.
"Kami lebih ke masalah bahwa pengadaannya itu bukan terhadap barang dan jasa. Jadi aturannya, kami tidak perlu mengikuti aturan yang seperti itu," ujar Kuasa Hukum PT Angkasa Putra II, Eriek Permana, usai sidang Majelis Komisi KPPU di Kantor KPPU, Jakarta Pusat, Kamis (8/5/2014).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan PT Angkasa Pura (AP) II melanggar Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam perkara jasa penyediaan jaringan telekomunikasi atau e-Pos dan jaringan fiber optic di Bandara Soekarno-Hatta dengan nomor perkara 07/KPPU-I/2013.
Advertisement
Dia menjelaskan, aturan dari Kementerian BUMN sendiri menyatakan itu hanya mengenai barang dan jasa, sedangkan menurut Eriek, pengadaan tender untuk e-pos, AP II telah mengikuti aturan pengadaan tentang masalah komersial.
"Jadi kalau pengadaan barang dan jasa, intinya adalah, kami keluar uang untuk barang dan jasa. Sedangkan ini, kami tidak mendapatkan apa-apa, barang ataupun jasa. Kami malah mendapatkan uang, jadi aturannya beda. Pengertian yang diarahkan oleh Majelis Komisi menurut kami salah," kata Erieck.
Meski demikian, Eriek menyatakan akan membicarakan hasil putusan ini terlebih dahulu dengan pihak AP II sebelum memutuskan apakah akan menerima atau keberatan terhadap putusan tersebut, mengingat KPPU memberikan waktu 14 hari dari dijatuhkannya putusan untuk pengajuan keberatan.
"Nanti akan kami komunikasikan dulu dengan AP II (apakah akan mengajukan keberatan atau tidak)," ungkapnya.
Sementara itu, pihak PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) yang juga diwakili oleh kuasa hukumnya, Stefanus Haryanto juga menyatakan putusan yang dijatuhkan KPPU kurang tepat.
Meskipun tidak terbukti melanggar melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, namun perusahaan plat merah tersebut juga dikenakan denda sebesar Rp 2,1 miliar karena turut serta membantu memaksakan penggunaan layanan e-Pos kepada para tenant di Bandara Soekarno-Hatta.
Menurut Stefanus, tidak tepat jika KPPU menggunakan konsep 'turut serta' dalam perkara ini. Dia menilai konsep turut serta hanya berlaku untuk perkara pada hukum pidana.
"Itu pun ada dasar hukumnya, pasal 55 KUHP. Sementara UU nomor 5 tahun 1999 sama sekali tidak punya dasar hukum untuk menggunakan konsep turut serta. Secara pribadi saya melihat KPPU melampaui wewenangnya, karena itu kewenangan DPR kalau mau mengubah UU," jelas Stefanus.
Stefanus pun mengaku belum memutuskan langkah yang akan diambil selanjutnya. Dia menyatakan masih akan membicarakan soal putusan tersebut kepada PT Telkom "Jadi saya akan lapor dulu ke klien," tandasnya.
Seperti diketahui, dalam putusan Majelis Komisi hari ini, KPPU menjatuhkan denda sebesar Rp 3,4 miliar kepada PT AP II dan denda sebesar Rp 2,1 miliar. Kedua denda tersebut harus disetorkan ke kas negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 atau Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persiangan Usaha. (Dny/Ahm)