Program Energi Jokowi & Prabowo Seperti Kaset Lama Diputar Ulang

"Itu semua program lama. Seperti kaset lama diputar pakai CD. Tidak ada solusi kalau begini terus," kata pengamat energi Iwa Garniwa.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 31 Mei 2014, 11:38 WIB
Diterbitkan 31 Mei 2014, 11:38 WIB
Ilustrasi Jokowi -Prabowo
Ilustrasi Jokowi-Prabowo (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai visi misi yang disampaikan dua pasangan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres) Joko Widodo-Jusuf Kalla dan  Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di bidang energi seperti kaset lama yang diputar ulang.

Pasalnya program-program yang disampaikan kedua pasangan ini sudah ada dalam roadmap pemerintahan SBY dan bahkan sudah mulai dijalankan.

Adapun beberapa program yang diusung kedua calon pemimpin bangsa ini seperti konversi bahan bakar minyak (BBM) subsidi ke bahan bakar gas (BBG), membangun infrastuktur gas, pengembangan energi baru terbarukan.

"Itu semua program lama. Seperti kaset lama diputar pakai CD. Tidak ada solusi kalau begini terus. Harapan saya cuma satu adalah komitmen itu harus dijalankan, bukan cuma sekedar janji," kata Iwa dalam diskusi 'Visi  Energi Prabowo vs Jokowi', di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (31/5/2014).

Iwa juga meminta kedua pasangan capres dan cawapres tersebut memaparkan visi misi yang lebih detail sehingga bisa diukur tingkat keberhasilannya.

"Jangan hanya bilang akan kurangi subsidi itu tidak terukur, tapi sebutkan subsidi akan berkurang misalnya dalam berapa tahun," papar dia.

Tak hanya itu, dia juga menantang pemerintah baru untuk berani jujur kepada masyarakat bahwa saat Indonesia bukanlah negeri yang kaya energi. Pasalnya saat ini Indonesia hanya menguasai 0,2% dari cadangan minyak dunia, begitupun batu bara tidak lebih dari 1%.

"Karena masyarakat masih merasa negara kaya minyak dan gas, mereka menggunakan energi itu boros," kata dia.

Kondisi ini, lanjut Iwa, telah membuat beban subsidi energi terus meningkat akibat lebih rendahnya harga jual dibanding biaya produksi. "Kita subsidi BBM Rp 275 triliun, listrik Rp 100 triliun, negara mana bisa maju dengan kondisi ini?" tegasnya. (Amd/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya