Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin diminta menerjemahkan permasalahan industri nasional dengan baik, agar negara ini mampu menyongsong liberalisasi perdagangan.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng memetakan tiga tantangan pokok Industri nasional Indonesia.
Baca Juga
Pertama, liberalisasi perdagangan dalam bentuk penghapusan bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang menyebabkan Indonesia dipenuhi dengan barang-barang impor berkualitas rendah, seperti impor tembakau.
Advertisement
Tantangan kedua, lanjut Daeng, kebijakan fiskal yang kurang mendukung perkembangan industri nasional seperti dukungan terhadap infrastruktur yang langsung terkait dengan industri kecil menengah besar, subsidi dan insentif langsung bagi kalangan industri yang rendah.
"Faktanya, fiskal Indonesia masih sangat berorientasi pada penerimaan, belum berorientasi pada pembangunan industri. Orientasi fiskal masih seperti manajemen dapur ibu rumah tangga yang urusannya hanya uang masuk dan uang keluar," ujar dia dalam keterangannya, Selasa (28/10/2014).
Tantangan ketiga, standarisasi produk yang belakangan ini gencar dipromosikan rezim internasional dalam seluruh sektor baik yang menggunakan isu lingkungan, kesehatan, standarisasi mutu yang didorong menjadi wajib atau mandatory. Standarisasi ini telah menghambat tumbuh dan berkembangnya industri nasional khususnya kecil menengah.
Untuk dapat memahami masalah ini, Menteri Perindustrian dapat belajar dari karakter industri hasil tembakau (IHT) sebagai satu satunya industri nasional yang besar dan fully integrated dari hulu sampai ke hilir dari bahan mentah, bahan baku, barang jadi hingga pasarnya yang kuat di dalam negeri.
Mengapa IHT sebagai modul belajar, Menurut Daeng, ada tiga hal. Pertama, dalam beberapa waktu terakhir industri hasil tembakau semakin digempur oleh kebijakan liberalisasi impor.
Bea masuk impor tembakau yang mencapai 0 persen telah menyebabkan Indonesia digempur tembakau impor. Saat ini lebih dari 110 ribu ton tembakau diimpor setiap tahun dan hampir separuh dari kebutuhan nasional.
"Hal ini sangat membahayakan. Maka itu, Menteri Perindustrian harus mengevaluasi kebijakan pembukaan impor tembakau tersebut," tegasnya.
Poin kedua, kata Daeng, fiskal kita yang saat ini menjadikan sektor tembakau dan industri rokok sebagai sasaran pemerasan dalam bentuk pemungutan cukai tinggi, yang menyebabkan banyak industri kecil menengah gulung tikar, karena tidak sanggup berkompetisi.
"Kebijakan ini semakin memperbesar penguasaan perusahaan asing seperti Phillip Morris yang memanfaatkan orientasi kebijakan fiskal yang menyerang industri nasional," ujarnya.
Poin ketiga, lanjut Daeng, isu standarisasi produk yang menggunanakan isu kesehatan. Semakin hegemonik dan menemukan pembenaranya.
Isu standarisasi seperti mendorong kadar tar rendah, nicotin rendah, konten lainnya seperti berusaha menghapuskan cengkeh sebagai bahan tambahan, standar dalam packaging, dll, telah menyerang keberlangsungan industri kecil menengah.
"Kebijakan standarisasi yang didorong oleh rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan pintu masuk bagi perusahaan global untuk mendominasi ekonomi tembakau nasional," ujarnya.
Daeng menegaskan, ketiga hal tersebut mutlak dipahami Menperin untuk membangun rencana penguatan industri nasional ke depan.
Pembangunan industri merupakan tulang punggung bagi ekonomi, merupakan strategi dasar dalam menciptakan kesempatan kerja yang seluas luasnya.
Industri nasional, menurut Daeng, harus memiliki fondasi pada kebudayaan agriculture masyarakat Indonesia. Sehingga Industri nasional harus memililki direct linked dengan pertanian.
"Menteri Perindustrian harus mengantitesa kebijakan selama ini yang menjadikan utang luar negeri, modal asing, bahan baku impor sebagai tumpuan, yang telah gagal dan menjadikan bangsa indonesia tergantung pada bangsa lain. Menteri Perindustrian harus mengambil pelajaran penting dari sejarah, filosofi, struktur, dan orientasi industri tembakau," pungkasnya.(Nrm)