Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) akan menginisiasi sejumlah regulasi untuk menghentikan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ketua PPATK Muhammad Yusuf menerangkan jumlah transaksi uang tunai dalam jumlah besar rawan akan praktik suap. Itu yang mendorong pihaknya mengajukan usulan aturan pembatasan jumlah transaksi dalam bentuk tunai.
"Uang cash dalam aspek TPTU cenderung bernuansa gratifikasi suap atau pemerasan. Uang cash sangat besar kemungkinan tidak bayar pajak, sehingga PPATK menginisiasi regulasi pembatasan transaksi uang tunai. Di samping manfaat tersebut dalam rangka mengurangi praktek gratifikasi, orang juga tak mau terima suap pakai transfer," kata dia di Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Dia mengatakan, usulan tersebut masih berupa rancangan undang-undang. Diharapkan, bisa menjadi undang-undang pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kemudian, dia menilai perlunya memberikan wewenang kepada Bea dan Cukai untuk menggeledah orang asing yang membawa uang tunai.
Berdasarkan data PPATK per Mei 2011 orang asing membawa uang tunai rata-rata sekitar US$ 155 juta. Besarnya uang yang dibawa orang asing juga rawan adanya praktik TPPU.
"Kita sudah buat Peraturan Pemerintah (PP) sudah di istana presiden, sudah diparaf menteri terkait intinya memberikan kewenangan dalam bea cukai untuk cek fisik," ujarnya.
Selain itu, PPATK juga menginiasiasi sebuah RUU perampasan aset untuk orang-orang yang terbukti melakukan TPPU. Hal itu dilakukan, karema selama ini pengembalian aset sering terkendala akibat pelaku tak bisa mengikuti prosedural hukum karena berbagai alasan seperti pergi ke luar negeri, sakit, dan lain-lain.
"Maka di UU itu dikatakan subjek manusia berubah menjadi benda, dengan cara begini perampasan aset ilegal, bisa diakomodir. Perampasan aset tanpa tututan pidana," tandas dia. (Amd/Nrm)