Liputan6.com, Sao Paulo - Kota megah dengan bangunan yang berjajar berdiri perkasa melambangkan kekayaannya ternyata tak sepenuhnya menjadi anugerah bagi para penduduk yang tinggal di dalamnya. Adalah Sao Paulo, kota yang terletak di salah satu kawasan terkaya di Amerika Selatan yang justru digadang-gadang dapat mendatangkan malapetaka bagi 11 juta penduduknya.
Mengutip laman news.com.au, Kamis (9/4/2015), kota terbesar di Brasil tersebut merupakan kota megapolitan yang tengah berada di ambang bencana. Bagaimana tidak, air berlimpah di mana-mana tapi hanya beberapa tetes yang layak untuk diminum.
Advertisement
Selama berbulan-bulan, Brasil yang memiliki persediaan air tawar terbesar di seluruh dunia, telah berjuang melawan masalah air layak minum tersebut. Kini bahkan pemerintah kota merasa putus asa untuk menyelamatkan kebersihan kota yang selama ini menjadi persoalan kontroversial.
Advertisement
Pemerintah Brasil berharap dapat membersihkan bendungan lokal yang telah lama tercemar yang bahkan diibaratkan sebagai `sup busuk limbah mentah yang dicampur dengan kotoran manusia`.
Sementara pemerintah mengatakan akan menggunakan air yang diolah dari bagian yang tidak tercemar, para ilmuwan justru memperingatkan putusan itu sebagai langkah yang berbahaya karena tingginya tingkat materi fekal dan kontaminan di bendungan.
Bahkan bendungan tersebut telah puluhan tahun tidak digunakan sebagai sumber air minum. Penduduk setempat sekalipun tidak akan pernah mau berenang di dalamnya.
"Jika mereka ingin menggunakan bendungan ini sebagai sumber air minum, mereka harus menghentikan polusi dan sampahnya dulu. Orang-orang tak ada yang mau berenang di sini, banyak menenggelamkan kaki saja tak mau," kata Valdir Mastrocezari, warga sekitar.
Rencana itu merupakan bagian dari sejumlah proposal yang diajukan untuk mengakhiri krisis air minum yang membuat jutaan orang mengalaminya.
Lantas apa yang membuat Sao Paulo mengalami kekeringan terparah selama 80 tahun terakhir?
Sebenarnya, Brasil memiliki pasokan air tawar lebih banyak dari negara manapun di planet ini, dengan 12 persen persediaan dari seluruh volume air tawar di dunia. Itu berdasarkan laporan organisasi penelitian global World Resources Institute (WRI). Sayangnya, perubahan pola cuaca ternyata berdampak parah pada ketersediaan air tersebut.
"Kekeringan yang sedang berlangsung di tenggara Brazil memberikan contoh besar tentang betapa parahnya penurunan pasokan air yang bisa terjadi dalam setahun. Penurunan terparah terjadi antara Desember 2013 dan Februari 2014, secara historis itu seharusnya menjadi waktu terbasah dalam setahun," terang laporan WRI.
Menurut NASA Earth Observatory, wilayah ini hanya menerima setengah jumlah curah hujan seharusnya. Perubahan pola cuaca bukan satu-satunya penyebab kekeringan itu.
Konsensus ahli kini tengah membangun deforestasi yang disebut-sebut sebagai pemicu utama kekeringan tahun ini dan musim kemarau yang serius di Brasil. Pada 2009, Antonio Nobre, ilmuwan di Center for Earth Systems Science Brasil memperingatkan bahwa penggundulan hutan Amazon bisa mengganggu fungsi hutan sebagai pompa air raksasa.
Pasalnya, deforestasi, mengangkat sejumlah besar air ke udara, dan mengurangi curah hujan ke wilayah tengah dan selatan Brasil.
Tanpa itu, Nobre mengatakan, 70 persen dari lahan penghasil air di Amerika Selatan secara efektif dapat berubah menjadi gurun.
Pihak berwenang telah menerapkan berbagai kebijakan mengenai penyediaan air bersih di Sao Paulo, termasuk memangkas batas penggunaan air masyarakat dan mengurangi tekanan jumlah air di waktu puncak. Sistem perairan di sana hanya bisa menyediakan air untuk 6 juta dari 20 juta penduduk di kawasan Sao Paulo. (Sis/Ndw)