Liputan6.com, Jakarta - Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai pentingnya melibatkan dunia usaha dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Penyelenggaraan Air Minum.
Keikutsertaan dunia usaha sangat diperlukan, selain memperkaya khazanah peraturan yang akan diterbitkan, juga untuk menciptakan rasa keadilan dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia. Apalagi selama ini, pabrik tekstil, industri makanan dan minuman, serta air dalam kemasan adalah pihak yang paling banyak menggunakan air.
“Pasti itu. DPR dalam membahas RUU Sumber Daya Air akan melibatkan stakeholderatau pihak yang terkait dengan masalah sumber daya air. Bisa saja meminta masukan dari rakyat dan dunia usaha,” kata Anggota Komisi VII DPR RI Ramson Siagian di Jakarta, pada Selasa (21/4/2015).
Pasca dibatalkannya UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah dan DPR harus segera menerbitkan undang-undang yang baru untuk memberikan rasa nyaman bagi semua pihak. MK, pada Februari lalu, membatalkan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena dinilai tidak sesuai UUD 1945.
“Kalau sudah dibatalkan MK, kecenderungannya harus membahas kembali RUU yang lebih komprehensif, lebih diterima rakyat, dan sesuai UUD 1945,”kata dia.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Pusat Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono. Saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional “Implikasi Pembatalan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Pengelolaan Air Tanah di Kampus ITB, Surono mengungkapkan, diperlukan pelibatan dunia usaha dalam penyusunan RPP tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan RPP tentang Sistem Penyelenggaraan Air Minum.
Aturan yang baru selain harus berpedoman bahwa air adalah kebutuhan vital bagi masyarakat, juga benar-benar baik bagi semua pihak.
”Kita harus membuka penyusunan RUU ini kepada semua pihak, termasuk dunia usaha atau swasta karena mereka selama ini paling banyak menggunakan air. Dunia usaha harus terlibat agar tidak ada dusta di antara kita, jangan sampai nanti ada tuduhan-tuduhan bahwa undang-undang yang baru nanti dikuasai oleh pengusaha,” katanya.
Dia mengatakan, diperlukan payung hukum tegas untuk mencegah terjadinya konflik dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia.
Disebutkan, selain ketidaktegasan kepastian hukum, konflik dalam pengelolaan air kerap dipicu oleh tidak optimalnya pengawasan dan pengendalian, keterbatasan data dan informasi, serta ketidaksinkronan perencanaan penataan ruang di suatu wilayah.
“Ada kompetisi penggunaan air. Perkembangan jumlah penduduk dan industri cenderung naik, namun fasilitas pelayanan air cenderung tetap,” kata Surono.
Surono memahami, MK membatalkan UU Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 karena dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi bahwa bumi, air dan isinya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.
Dia berharap ketiadaan aturan saat ini dengan dibatalkannya UU SDA, tidak akan mengganggu aktivitas masyarakat dan dunia usaha.
”Yang izinnya masih berlaku tetap berlaku. Yang memang izinnya masih dalam proses, ya menunggu undang-undang yang baru. Jangan dalam posisi kosong seperti ini muncul polemik,” katanya.
Lebih lanjut diungkapkan, pemanfaatan air permukaan di Indonesia masih sangat kurang sehingga ketergantungan masyarakat terhadap air sangat tinggi, sehingga berujung pada eksploitasi air tanah secara berlebihan yang berdampak pada penurunan permukaan tanah dan air laut.
Sementara itu, Juru Bicara Forum Komunikasi Lintas Asosiasi Pengguna Air yang juga Wakil Ketua Umum GAPMMI Rachmat Hidayat mengaku khawatir terhadap ketiadaan aturan hukum yang jelas.
Forum Lintas Asosiasi terdiri atas Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indoensia (GAPMMI), Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Asosiasi Produsen Roti, Biskuit dan Mie (Arobim), Asosiasi Pengolah Saribuah Indonesia (APSARI), dan Asosiasi Industri Pengolah Susu (AIPS).
Rachmat mengatakan, ketiadaan payung hukum sangat membahayakan industri nasional, yang menggunakan air seperti industri makanan dan minuman, pengolahan hasil pertanian, dan perkebunan, tekstil, kimia, dan perhotelan yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia.
“Harus ada solusi tepat. Situasi ketidakpastian hukum ini harus secepatnya diatasi. Kalangan industri meminta pemerintah secepatnya menerbitkan produk undang-undang yang dapat menghubungkan semua peraturan perundangan terkait SDA saat ini dengan UU 11/1974,” katanya. (Nrm)