Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) diminta lebih transparan terkait pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan minyak mentah, untuk mencegah praktik pemburu rente pasca pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral).
Analis Energi dari Bower Group Asia Rangga D. Fadilla mengatakan pembubaran Petral adalah langkah logis, setelah fungsi Petral dalam pengadaan BBM dan minyak mentah diambilalih Integrated Suply Change (ISC) sehingga kehadiran Petral tidak lagi dibutuhkan.
"Kalau memang sudah nggak ada tupoksi yang jelas memang sebaiknya dibubarkan untuk efisiensi perusahaan dan pengadaan minyak dan BBM," kata Rangga, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Sabtu (25/4/2015).
Rangga menambahkan, setelah membubarkan anak usaha yang berkedudukan di Hong Kong tersebut, yang harus diperhatikan Pertamina adalah perubahan pengadaan BBM menjadi lebih transparan.
"Tapi yang harus digarisbawahi sebenarnya adalah proses impornya, harus lebih terbuka dan transparan," tutur dia.
Menurut Rangga, jika Petral digantikan lembaga serupa dengan skema yang sama dalam pengadaan BBM, maka akan membuka kesempatan pemburu rente kembali melakukan aksinya dalam pengadaan BBM dan minyak mentah.
"Kalau hanya mengganti lembaganya saja tapi tidak merubah prosesnya itu sama saja ganti baju, tetap terbuka peluang untuk pemburu rente masuk dalam proses impor minyak dan BBM," pungkasnya.
Ketua Komisi VI DPR, Ahmad Hafidz Tohir mengkritisi pembubaran Petral dan pembentukan Pertamina Energy Services (PES) sebagai pengganti Petral untuk pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
"Mau dibentuk unit usaha baru atau Petral dibubarkan bagi kami sama saja kalau kongkalikong tetap ada," tegas dia.
Politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini meminta PT Pertamina (Persero) harus mengimpor minyak dengan harga dan cara transparan.
Baca Juga
Isu ini, kata Hafidz bukan terletak pada pembubaran Petral atau tidak, namun Pertamina harus melakukan efisiensi dan transparansi dalam impor minyak.
"Ini jauh lebih penting. Siapapun pelaksananya silakan. Kalau itu transparan dan harganya jauh lebih bagus di pasar dunia, maka ini akan menguntungkan Indonesia," tambahnya.
Dulu, kata dia, Pertamina masuk dalam 10 perusahaan yang diawasi langsung oleh Presiden merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) saat era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Tapi saya dengar, Presiden Jokowi sudah nggak memakai Keppres itu lagi, sehingga langsung dari pengawasan Menteri BUMN. Pengawasan penting karena dari data BPK, korupsi banyak dilakukan oleh anak perusahaan," cetus Hafidz.(Pew/Fik/Nrm)
Advertisement