Pertamina Butuh UU$ 500 Juta untuk Impor Minyak dan BBM

Selama ini, kebutuhan BBM nasional sebanyak 1,6 juta barel per hari.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 20 Jun 2015, 18:20 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2015, 18:20 WIB
SPBU Pertamina
SPBU Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) membutuhkan US$ 500 juta untuk mengimpor minyak dan bahan bakar minyak (BBM), atau sekitar Rp 6,5 triliun per hari (dengan kurs Rp 13.000).

"Jadi pertama, kilang minyak kapasitas maksimum 850 ribu barel per hari, tetapi karena kenaikan demand tadi perlu kita antisipasi kekurangan dari impor," kata Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, pekan lalu.

Dwi mengatakan, untuk mengimpor minyak dan BBM tersebut, Pertamina memerlukan banyak dolar AS. Kebutuhannya mencapai US$ 400 juta-US$ 500 juta per hari hanya untuk impor minyak dan BBM. Dana ini untuk mengimpor BBM dan minyak mentah sekitar 750 ribu barel per hari.

Selama ini, kebutuhan BBM nasional sebanyak 1,6 juta barel per hari. Ini dipenuhi dari produksi kilang 850 ribu, dan sisanya dari impor sebesar 750 ribu.

Apalagi jelang Lebaran tahun ini, kebutuhan BBM meningkat yang artinya kebutuhan dolar juga meningkat sekitar 15 persen. Di mana, kebutuhan premium naik 18 persen, solar 11 persen, dan avtur 10 persen. "Artinya dolar naik 10-15 persen," tutup Dwi.

Menanggapi hal tersebut Direktur Task Force Program Pendalaman Pasar Keuangan BI Nanang Hendarsah mengatakan, pasokan valas yang ada sudah bisa memenuhi kebutuhan dolar AS Pertamina. Saat ini, rata-rata permintaan dolar AS Pertamina di pasar spot mencapai US$ 150 juta per hari.

"Wah tidak sebesar itu. Pertamina masuk ke spot sekitar US$ 100-US$ 150 juta per hari. Dengan isi tanda tangannya kesepakatan hedging dengan 3 Bank BUMN (Forex Line) mudah-mudahan sebagian kecil sudah masuk ke transaksiforward," jelas Nanang.

Dia menjelaskan, kebutuhan dolar AS Pertamina termasuk besar. Namun, sejauh ini sudah dapat dipenuhi dari supply valas dari eksportir dan capital inflows. Rata-rata pasokan valas dari domestik mencapai U$ 22 miliar per bulan, permintaan valas dari domestik U$ 23,7 miliar per bulan. Ekses demand sekitar US $1,7 miliar di penuhi atau dipasok dari capital inflows.

Oleh karena itu, penting untuk menjaga sustainabilitas capital inflows karena akan memenuhi ekses demand valas domestik. Saat ini, pasokan valas yang bersumber dari capital inflows mencapai US$ 1,4 miliar per bulan. Inflows tersebut sebagian besar ke Surat Berharga Negara dan saham.

"Oleh karena itu, penting sekali untuk menjaga kepercayaan investor asing, karena mereka yang men-supply valas di domestik. Namun, investor asing ini peka terhadap terjadinya "risk on dan risk off" di pasar keuangan global, sehingga sering berpengaruh ke pasar keuangan kita," jelas dia.

Namun, kata dia, sepanjang investor asing memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kualitas pengelolaan kebijakan makro (moneter dan fiskal) Indonesia, investor asing terutama yang jangka panjang atau sering disebut "real money investors" akan tetap bertahan di Indonesia.

"Sangat penting untuk menempuh kebijakan moneter yang prudent dan konsisten. Inkosistensi dalam kebijakan moneter akan menurunkan kepercayaan asing. Dalam konteks ini BI sudah menunjukkan kebijakan moneter yang konsisten dan prudent," pungkasnya.

Sementara itu Energy Watch Indonesia (EWI) menilai pada Era Karen Agustiawan, kebutuhan dolar AS untuk importasi BBM hanya US$ 100 juta. Tingginya kebutuhan dolar AS tersebut menggerus devisa dan menyebabkan kurs rupiah enggan turun.

‎”Angka yang dibutuhkan pertamina hingga mencapai US$ 500 juta/hari sangat tidak masuk akal, itu terlalu besar. Kenaikannya terlalu tinggi, seolah kebutuhan kita sudah 100 persen impor, sementara kilang minyak kita sebagian masih berfungsi,” ujar Direktur EWI, Ferdinand Hutahaean

Dia  pun tidak yakin dengan angka yang disebutkan Dirut Pertamina tersebut. Pasalnya, angka tersebut terlalu tinggi kecuali Indonesia impor 100 persen.

Menurut dia, jika angka ini benar artinya kurs rupiah dalam ancaman besar, rupiah bisa semakin terjerumus. Importasi BBM akan semakin besar. Sudah seharusnya, tim ekonomi dan energi Kabinet Kerja dievaluasi.(Sis/Nrm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya