Reguk Untung dari Manisnya Bisnis Parcel Lebaran

Dari penjual parcel, pedagang ini mereguk untung Rp 10 juta.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 09 Jul 2015, 14:54 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2015, 14:54 WIB
Parcel lebaran (Achmad Dwi Afriyadi/Liputan6.com)
Parcel lebaran (Achmad Dwi Afriyadi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Parcel atau bingkisan hadiah telah menjadi salah satu ciri khas masyarakat Indonesia saat hari besar seperti lebaran. Parcel kerap kali dijadikan simbol perayaan kemenangan dan sarana mempererat tali silaturahmi.

Maka tak heran, dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri dimanfaatkan pedagang musiman untuk berjualan parcel. Salah satunya para pedagang yang sering mangkal di bawah jembatan rel Stasiun Cikini. Mereka memanfaatkan momen lebaran untuk mendulang untung.

Seorang pedagang Lina Megasari (33) mengaku dalam sebulan paling tidak mendapat untung bersih Rp 10 juta. Jika dihitung, angka tersebut sebanding dengan keuntungan yang didapat dari penjualan 200 bingkisan.

"Kalau untung Rp 10 jutaan. Tidak mungkin tidak ada untungnya," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (9/7/2015).

Dia bercerita, modal yang dikeluarkan untuk berdagang parcel sekitar Rp 30 juta. Modal tersebut digunakan untuk membeli barang-barang pendukung parcel seperti biskuit kaleng, minuman, dan sirup.

Sejatinya, parcel yang dijual tak hanya dalam bentuk bingkisan makanan. Namun ada pula dalam bentuk piring-piring keramik juga kaligrafi.

"Kalau keranjangnya itu dibuat sendiri, beli kayunya aja bisa Rp 10 juta. Tapi lebih murah. Daripada beli sendiri satu keranjangnya bisa Rp 20 ribu," katanya.

Ibu beranak dua tersebut mengatakan, parcel yang dijual memiliki beragam harga. Misalnya, untuk parcel makanan berukuran kecil seharga Rp 150 ribu, ukuran sedang Rp 400 ribu, dan besar bisa mencapai Rp 1 juta.

"Tapi kalau kombinasi makanan dan keramik bisa Rp 1,5 juta," ujarnya.

Tradisi dari orangtua

Lina menuturkan, usaha yang dia geluti saat ini terhitung masih sebentar sekitar 4 tahun. Namun begitu usaha tersebut merupakan usaha turun menurun dari mendiang ibunya yang sudah meninggal.

Jadi, usaha itu tak sekadar hanya mendulang untung namun juga melanjutkan tradisi dari orangtua.

Mulanya, orang tuanya yang juga warga sekitaran Cikini menjual aksesoris pelengkap lebaran seperti ketupat di Taman Ismail Marzuki (TIM). Cukup lama, kata Lina, hampir 20 tahun ibunya menjalankan aktivitas tersebut sampai pindah jualan di bawah jembatan rel kereta api.

"Itu turun-temurun, dari ibu saya sebelum meninggal, sudah lama sekali," katanya.

Lebih baik lebaran tahun lalu

Penjualan parcel tahun ini diperkirakan bakal menurun. Lina mengaku, pembeli pada tahun ini semakin sepi. Dia pun tak cukup optimis untuk mereguk untung sebesar Rp 20 juta seperti tahun lalu.

Ada beberapa faktor. Lina mencurigai sepinya penjualan karena adanya asumsi jika parcel disebut-sebut sebagai gratifikasi atau indikasi korupsi.

"Ini sangat terasa tidak kaya tahun kemarin, karena mungkin tidak boleh terima hadiah kali ya. Yang swasta, bos-bos, klien-kliennya. Sekarang kan nggak boleh," ujarnya.

Kemudian banyak kompetitor yang turut menjual parcel. Itu juga sejalan dengan menurunnya daya beli karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok.

"Yang jualan tambah banyak, yang beli tambah sedikit. Tadinya tidak  jualan sekarang buka," keluh dia.

Tak berhenti di sana, isu peredaran makanan kadaluarsa pun juga dianggap jadi pemicu menurunnya penjualan parcel. Padahal, pihaknya menjamin jika makanan dan minuman yang dia beli aman. Apalagi, dia sengaja membelinya dari supermarket.

Tak hanya itu, sidak yang dilakukan pemerintah juga membuatnya berani menjamin jika parcel yang dijual aman.

"Sekarang BPOM juga ngecek. Kemarin sudah ngecek, baru saja," tandas dia. (Amd/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya