Rupiah Masih dalam Tren Pelemahan

Selain tekanan dari eksternal, perlambatan ekonomi Indonesia juga ikut membebani rupiah.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 19 Agu 2015, 12:37 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2015, 12:37 WIB
20150813-Mata Uang Yuan-Jakarta
Petugas menghitung uang pecahan 100 Yuan, Jakarta, Kamis (13/8/2015). Biang kerok keterpurukan kurs rupiah dan sejumlah mata uang negara lain adalah kebijakan China yang sengaja melemahkan (devaluasi) mata uang Yuan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih dalam tren pelemahan. Di awal perdagangan Rabu (19/8/2015), rupiah masih tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penyebab tekanan terhadap rupiah adalah ekspektasi kenaikan suku bunga AS dan devaluasi Yuan beberapa waktu lalu ditengah lesunya laju pertembuhan ekonomi nasional.

Menurut data Bloomberg, Rabu (19/8/2015), nilai tukar berada pada kisaran level 13.830 pada pukul 10.14 WIB. Nilai tukar rupiah dibuka pada level 13.833 per dolar AS, melemah dari penutupan kemarin yang berada di level 13.800 per dolar AS. Sejak pagi hingga siang, nilai tukar rupiah berada di kisaran 13.815 per dolar AS hingga 13.840 per dolar AS.

Sementara kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat tipis 0,05 persen menjadi 13.824 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.831 per dolar AS.

"Penyebabnya untuk saat ini (melemahnya rupiah) lebih kepada faktor eksternal. Rupiah sebagaimana juga mata uang lain di Asia pada umumnya, saat ini masih dihantui oleh prosepek kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve yang kemungkinan dilakukan pada bulan september mendatang. Selain itu, devaluasi yuan beberapa waktu lalu juga turut menekan mata uang asia pasifik." Eko Trijuni Head of Market Analyst Foreximf.com kepada Liputan6.com.

"Namun pemerintah sebaiknya juga memperhatikan faktor internal seperti perlambatan pertumbuhan PDB." tambah Eko.

Perlambatan ekonomi Indonesia juga ikut menekan rupiah. Menurut data BPS PDB pada kuartal 2 turun menjadi 4,67 persen dari 4,72 persen pada kuartal pertama tahun ini.

Pada pidato RAPBN 2016 pekan lalu, Presiden Joko Widodo memperkirakan produk domestik bruto akan meningkat 5,5 persen pada tahun depan, dan juga memprediksi nilai tukar rupiah lebih kuat dari level saat ini. Beliau juga memperkenalkan tim ekonomi baru, yang didalamnya mencakup mantan kepala bank sentral dan investor swasta.

Sementara itu, Santitarn Sathirathai, ekonom dari Credit Suisse Group AG di singapura mengatakan, adanya dilema, antara membantu pemulihan ekonomi dan mengelola stabilitas mata uang menjadi tantangan berat bagi Bank Indonesia. "Inflasi masih cukup tinggi, dan ada juga ketidakpastian kenaikan (suku bunga) The Fed yang menajadi penengahnya." jelas Santitarn seperti dikutip dari Bloomberg. 

Para pelaku pasar kini menunggu keputusan kebijakan suku bunga AS oleh The Federal Reserve yang rencananya dijadwalkan pada kamis 20 Agustus pukul 01.00 dini hari.

Pada pekan lalu tepatnya pada selasa (11/8/2015), People's Bank of China (PBC) atau Bank Sentral China sengaja melemahkan mata uangnya. Pelemahan itu sekitar 1,9 persen terhadap dolar Amerika Serikat.

Hal itu bertujuan untuk mempercepat laju ekonomi negeri tirai bambu. Pemangkasan tersebut memicu Yuan anjlok hingga mengalami penurunan harian terbesar sejak Januari 1994. (Ilh/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya