Harga Minyak Jatuh, Ekspor Komoditas RI Tertekan

Ekonom, Tony Prasetiantono memperkirakan harga minyak dunia akan tertekan dalam jangka waktu lama.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Agu 2015, 19:25 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2015, 19:25 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi Tambang Minyak 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ekonomi sekaligus Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), A. Tony Prasetiantono menggambarkan kekhawatiran perekonomian global akibat kejatuhan harga minyak dunia. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap ekonomi Indonesia.

Ditemui di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (19/8/2015), Tony mengatakan, harga minyak dunia saat ini turun drastis ke level US$ 41 per barel, sementara harga jual shale gas di bawah US$ 20 per barel.

"Murah sekali. Rusia yang menderita, yang pesta Amerika Serikat (AS). Arab Saudi juga tidak masalah harganya di bawah US$ 20 per barel karena dia masih sanggup," ucap dia.

Dalam jangka pendek, Tony mengakui, akan menguntungkan karena harga bahan bakar minyak (BBM) seperti Premium, Solar dan Pertamax turun. Namun, sambungnya, kekhawatiran muncul karena akan berdampak negatif bagi harga komoditas primer, yakni batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang mengalami tekanan paling dalam.

"Dampak berikutnya menyeret harga komoditas primer, seperti batu bara, kelapa sawit yang paling anjlok. Ini ngeri," tegas Komisaris Independen Bank Permata itu.

Tony memperkirakan, pelemahan harga minyak dunia akan berlangsung lama akibat shale gas AS dan kesanggupan Arab Saudi memacu produksi meski ada tekanan harga.

"Celakanya harga minyak rendah bakal lama. Jadi boro-boro kembali ke US$ 70 per barel, naik ke harga US$ 50 per barel saja susah. Kita menunggu dulu," kata Tony.

Dia menggambarkan peta gejolak perekonomian di tahun depan. Kondisi tersebut, sambungnya, diperparah dengan langkah stabilisasi ekonomi China, Jepang dan Eropa yang diperkirakan saling tarik menarik.

"Kalau dilihat semua sentimennya, dihitung neracanya, masih bermasalah. Yunani pun sewaktu-waktu bisa meledak lagi jatuh temponya, devaluasi Yuan terus menerus akan menyebabkan perang kurs karena negara lain akan ikut-ikutan menurunkan mata uangnya," terang dia.


Dampak Bila RI Melemahkan Rupiah

Dampak Bila RI Ikuti China Melemahkan Mata Uang

Lalu apa akibatnya jika Indonesia mengekor China dengan melemahkan Rupiah?

Tony bilang, pasti akan berdampak pada beban utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengingat Indonesia masih mempunyai utang luar negeri (ULN) cukup besar.

"Kalau Indonesia ikut menurunkan Rupiah, beban utangnya berdampak, kecuali kita tidak punya beban utang luar negeri. Ya ayo saja mau Rupiah 15 ribu per dolar AS. Nah sekarang? Bisa tobat korporasi-korporasi," terang Tony.

Dia mengingatkan agar Indonesia waspada dan mulai berpikir tantangan berat yang akan dihadapi pemerintah pada tahun depan. "Tahun depan ternyata lebih menantang dari yang kita bayangkan dari tahun ini. Ada masalah baru, seperti devaluasi Yuan dan Yunani yang sewaktu-waktu bisa meledak lagi (utang)," tandas Tony. (Fik/Ahm)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya