Harga Komoditas Naik, Rupiah Menguat Tipis ke 14.061 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah diperkirakan kembali bergerak menguat karena kenaikan harga komoditas.

oleh Arthur Gideon diperbarui 01 Sep 2015, 11:37 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2015, 11:37 WIB
20150824-Dollar-Mengguat
Petugas menghitung uang pecahan US$100 di Jakarta, Senin (24/8/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Posisi dolar terus beranjak hingga di kisaran Rp 14.150. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah masih berkutat di level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (1/9/2015). Nilai tukar rupiah diperkirakan akan mampu menguat pada perdagangan hari ini jika data inflasi sesuai dengan perkiraan analis. 

Mengutip Bloomberg, nilai tukar rupiah dibuka di level 14.061 per dolar AS. menguat tipis jika dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya yang berada di level 14.067 per dolar AS. pada perdagangan hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.056 per dolar AS hingga 14.097 per dolar AS.

Sedangkan data RTI, pada perdagangan hari nii nilai tukar rupiah melemah 0,04 persen ke level 14.089 per dolar AS.

Ekonom PT Samuel Sekuritas, Rangga Cipta menjelaskan, pada secara teknikal, pada perdagangan kemarin rupiah mampu menguat karena pelemahan dolar AS di pasar Asia. Harga-harga komoditas yang naik cukup tinggi pada perdagangan kemarin mampu mengembalikan rupiah ke ke posisi bawah 14.000 per dolar AS.

"Sentimen positif sepertinya mulai kembali setelah sebelumnya terus mengalami tekanan akibat anjloknya saham di AS dan juga China," jelasnya. Sentimen positif tersebut kemungkinan besar akan berlanjut jika data inflasi sesuai dengan konsensus dari para analis. 

Inflasi bulan kedelapan kemarin akan bergerak pada angka 0,65 persen. Inflasi tahunan mengarah 7,5 persen dan inflasi inti diprediksi 4,7 persen.

sedangkan secara fundamental, ekonom BNI Ryan Kiryanto menjelaskan, secara garis besar perekonomian Indonesia masih cukup baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Ia mencontohkan misalnya Malaysia. Negara tersebut hampir sama seperti Indonesia yang mengalami tekanan akibat penurunan harga komoditas, pelarian dana asing akibat rencana kenaikan suku bunga The Fed.

"Namun di Malaysia ada konflik politik sehingga membuat ringgit tertekan lebih dari 20 persen sedangkan rupiah hanya 12 persen jika dihitung dari awal tahun," tuturnya.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas moneter dan fiskal pun menurut Ryan sudah sejalan dengan semangat pencegahan penurunan rupiah ke level yang lebih dalam. "BI tetap menahan BI Rate dan pemerintah mengeluarkan paket kebijakan di sisi fiskal juga," tambahnya.

Namun memang, rupiah tidak bisa selalu bertahan karena yang bermain adalah sentimen. Sama halnya yang terjadi pada saat Bank Sentral China mendevaluasi mata uang yuan sebanyak tiga kali berturut-turut dua pekan lalu.

Akibatnya, meskipun tidak ada kaitannya dengan Indonesia namun seluruh mata uang di Asia ikut melemah akibat sentimen dari pelaku pasar yang mendiskon mata uang di Asia. (Gdn/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya