Kontrak Bisnis Migas, Negara Ibarat Pemilik Sawah

Dalam kontrak bisnis migas, negara ibarat pemilik sawah dengan kewenangan lebih besar.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Sep 2015, 12:00 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2015, 12:00 WIB
Kontrak Bisnis Migas, Negara Ibarat Pemilik Sawah
Dalam kontrak bisnis migas, negara ibarat pemilik sawah dengan kewenangan lebih besar.

Liputan6.com, Jakarta Tak ada yang meragukan bahwa industri hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) menjanjikan keuntungan yang sangat besar. Selain memberikan keuntungan berlimpah dari segi bisnis, migas juga memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia.

Namun, dibalik keuntungan dan manfaatnya yang besar terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ingat terutama dari segi karakter bisnis migas.

Pertama, pendapatan baru diterima bertahun-tahun setelah pengeluaran direalisasikan. Kedua, bisnis ini memiliki risiko dan ketidakpastian tinggi serta melibatkan teknologi canggih. Dan ketiga, usaha hulu migas memerlukan investasi yang sangat besar.  

Untuk menyiasati tantangan dan meraih peluang dari bisnis migas, Indonesia sebagai negara dengan potensi migas yang cukup besar menerapkan kontrak bisnis dengan model bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema ini dianggap para ahli migas tanah air mampu mengoptimalkan
penerimaan negara sekaligus melindungi dari paparan risiko tinggi terutama pada fase eksplorasi.

Skema bagi hasil atau PSC diterapkan bukan 5 atau 10 tahun yang lalu, melainkan sejak tahun 1966 saat PERTAMINA pertama kali menandatangani kontrak bagi hasil dengan Independence Indonesian American Oil Company (IIAPCO). Bahkan, kontrak ini tercatat sebagai kontrak PSC pertama dalam sejarah industri migas dunia. Dengan kontrak ini, negara berperan lebih besar dalam hal kewenangan manajemen kegiatan usaha hulu migas.

Ilustrasi Skema Kontrak Bagi Hasil (PSC)

PSC dapat diibaratkan dengan model usaha petani penggarap yang banyak dipraktikkan di nusantara. Pemerintah adalah pemilik “sawah” yang mengamanatkan pengelolaan lahan kepada “petani penggarap”.

Dalam bisnis hulu migas, “petani penggarap” ini adalah perusahaan migas baik nasional maupun asing. Penggarap ini menyediakan semua modal dan alat yang dibutuhkan.

Semua pengeluaran ini tentunya harus disetujui pemilik sawah, karena modal tersebut akan dikembalikan kelak saat panen. Penggantian ini, yang dalam dunia migas dikenal dengan istilah cost recovery, hanya dilakukan jika “panen” tersebut berhasil atau ada temuan cadangan yang komersial untuk dikembangkan.

Jika tidak, semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh penggarap (kontraktor migas). Saat “panen” tiba, produksi akan dikurangkan terlebih dahulu dengan modal yang harus dikembalikan, baru kemudian dibagi antara pemilik sawah dengan penggarap sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. 

Demikianlah PSC bekerja. Dengan pola ini, negara bisa memanfaatkan anugrah sumber daya migas karena modal dan teknologi disediakan oleh investor.

Selanjutnya, apakah pemerintah punya kendali bisnis hulu migas?

1

Pemerintah Pegang Kendali Bisnis Hulu Migas

Di skema kontrak bagi hasil, negara tidak terpapar risiko kegagalan eksplorasi karena biaya modal dalam kondisi tersebut tidak diganti dalam skema cost recovery. Pemerintah sebagai perwakilan negara juga memiliki kontrol baik atas manajemen operasional maupun kepemilikan sumber daya migas.

Manajemen operasional hulu migas dipegang oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau SKK Migas (dulu BPMIGAS) sebagai perwakilan pemerintah dalam PSC. Dengan adanya institusi ini, kendali atas bisnis hulu migas sepenuhnya di tangan negara.

Di sisi lain, PSC juga mengatur bahwa sumber daya migas tetap milik negara sampai titik serah. Berbeda dengan Kontrak Karya yang membagi hasil penjualan migas, dalam sistem PSC, yang dibagi adalah produksi.

Selama sumber daya migas masih berada dalam wilayah kerja pertambangan atau belum lepas dari titik penjualan yaitu titik penyerahan barang, maka sumber daya alam migas tersebut masih menjadi milik pemerintah Indonesia.

PSC sampai saat ini masih dipercaya sebagai model paling ideal untuk Indonesia. Sistem ini menjamin penguasaan negara atas sumber daya migas sekaligus melindungi negara dari tingkat risiko dan ketidakpastian yang tinggi dalam bisnis hulu migas.

Sebelum PSC, Indonesia sempat menganut dua model bisnis, yaitu konsesi dan  kontrak karya. Rezim konsesi dianut Indonesia pada era kolonial Belanda sampai awal kemerdekaan.

Karakteristiknya, semua hasil produksi dalam wilayah konsesi dimiliki oleh perusahaan. Negara dalam sistem ini hanya menerima royalti yang secara umum berupa persentase dari pendapatan bruto dan pajak. Keterlibatan negara sangat terbatas.

Rezim Kontrak Karya berlaku saat Indonesia menerapkan Undang-undang No. 40 tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Status perusahaan diturunkan dari pemegang konsesi menjadi kontraktor negara. Pada sistem ini, negara dan perusahaan berbagi hasil penjualan migas

Meskipun perusahaan tidak lagi menjadi pemegang konsesi, kendali manajemen masih berada di tangan mereka. Peran pemerintah terbatas pada kapasitas pengawasan.

(Adv/GR)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya