Menguji Keampuhan Kartu Sakti Jokowi

Kehadiran kartu saksi tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 19 Sep 2015, 13:06 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2015, 13:06 WIB
Kala 'Kartu Sakti' Jokowi Dibagikan
Warga mengantre untuk mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Fatmawati, Jakarta, Senin (3/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan ['kartu sakti'](2301966  yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Harapannya, dengan kartu tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.

Sayangnya, langkah tersebut dirasa  belum cukup ampuh. Terlihat dari rilis angka Badan Pusat Statistik (BPS) yang melaporkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 sebanyak 28,59 juta jiwa.

Jika dibanding September 2015 angka penduduk miskin bertambah 860 ribu jiwa. Sementara, Maret 2014 jumlah penduduk miskin 27,73 juta jiwa.

Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan kartu sakti sebenarnya alat yang ampuh untuk menanggulangi kemiskinan apabila dikeluarkan pada momen yang tepat.

"Kalau tepat penyalurannya, waktunya signifikan pengaruh," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Sabtu (19/9/2015).

Namun begitu, dia bilang angka kemiskinan naik karena terjadi peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM) yang belum diantisipasi sebelumnya.

"Yang jadi masalah kan BBM dinaikan itu di bulan November  pakai APBN Pak SBY 2014. APBN  2014 nggak ada dana kompensasi kenaikan BBM," tambahnya.

Enny menegaskan hal tersebutlah yang mendorong peningkatan kemiskinan lantaran tidak ada penyangga kenaikan BBM. Selanjutnya dengan kenaikan BBM maka harga-harga barang pun turut meningkat.

"Di samping itu kenaikan harga walaupun BBM turun itu harga-harga tidak turun," ujarnya.

Memang sejatinya masalah tak berhenti disitu. Perlambatan ekonomi global berpengaruh pada perkembangan ekonomi di dalam negeri. Alhasil kinerja industri menurun sehingga menyebabkan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Memang kebijakan yang diperlukan pemerintah dalam menentukan harga-harga yang diatur tadi," tandas dia. (Dny/Ndw)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya