Dolar AS Perkasa, Harga Produk Makanan Naik di 2016

Bila terjadi kenaikan harga jual produk makanan dan minuman maka disesuaikan sekitar 5-10 persen.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Sep 2015, 15:13 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2015, 15:13 WIB
Awal bulan puasa, Sayur Mayur di Supermarket Ikut Naik
Seorang pembeli mengecek sayur-mayur di sebuah supermarket di Jakarta, Jumat (19/6/2015). Berbagai jenis sayuran antara lain seperti cabai merah, kacang panjang, timun, bawang merah, mengalami kenaikan di awal bulan puasa. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan, level kritis pelemahan nilai tukar rupiah bagi pelaku usaha sebesar 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Jika anjlok sampai ke level tersebut, pengusaha akan menaikkan harga jual produk makanan dan minuman tahun depan.

Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman mengungkapkan, pengusaha di industri makanan dan minuman masih melakukan simulasi ketahanannya terhadap pelemahan kurs rupiah. Namun dia memperkirakan depresiasi tersebut cenderung bertahan lama.

"Toleransinya maksimum pelemahan kurs rupiah 15.000 per dolar AS. Jangan lebih dari itu, mudah-mudahan bisa di bawah itu," harap dia saat ditemui di kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Jumat (25/9/2015).

Apabila dolar AS betul-betul menembus level Rp 15.000, kata Adhi, pengusaha makanan dan minuman terpaksa menaikkan harga jual produk pada tahun depan. Dia meramalkan, kondisi perekonomian di 2016 akan sedikit membaik dan daya beli meningkat, sehingga waktu yang tepat untuk menyesuaikan harga.

"Kalau lebih dari Rp 15.000 per dolar AS, kita akan naikkan harga tahun depan. Tapi tergantung kebijakan masing-masing perusahaan, sedangkan dari asosiasi tidak mengatur itu. Karena situasinya sudah berat sekali," terang dia.

Adhi mengaku, jika terjadi kenaikan harga jual produk makanan dan minuman, paling banter disesuaikan 5-10 persen. "Kalau lebih dari itu akan memukul penjualan karena kondisinya sudah ekstrem buat kita," ujar Adhi.

Adhi menuturkan, dolar AS yang terus merangkak naik sangat memukul industri makanan dan minuman dalam negeri yang sebagian besar masih bergantung pada bahan baku impor. Sebagai contoh, pelaku industri makanan dan minuman mengimpor bahan baku gula 100 persen, bahan baku berbasis terigu 100 persen, 70 persen bahan baku susu serta konsentrat buah dan sayur impor.

"Ini sudah lampu kuning buat kita, jadi kita harus pandai-pandai menyelamatkan industri dan produksi sebab biaya produksi sudah membengkak. Tanpa menaikkan harga jual tahun ini, keuntungan kita sudah tergerus, efisiensi dilakukan supaya tetap bertahan," terang dia. (Fik/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya