Data Industri China Memburuk, Rupiah Turun ke 14.828 per Dolar AS

Rupiah melemah pada perdagangan Selasa (29/9/2015) dan sempat menyentuh level 14.828 per dolar AS.

oleh Ifsan Lukmannul Hakim diperbarui 29 Sep 2015, 11:46 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2015, 11:46 WIB
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah
Ilustrasi Nilai Tukar Rupiah Melemah

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali terkapar tak berdaya pada perdagangan Selasa (29/9/2015). Bahkan, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level 14.828 per dolar Amerika Serikat (AS). Sentimen yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah melemahnya data laba industri China yang menandakan potensi menurunnya kinerja ekspor - impor negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu.

Mengutip Bloomberg, rupiah dibuka melemah 41 poin di level 14.715 per dolar AS dibandingkan dengan penutupan pada Senin pekan ini yang ada di level 14.674 per dolar AS. Nilai tukar rupiah berada pada kisaran level 14.720 per dolar AS pada pukul 10.36 WIB. Sejak pagi hingga menjelang siang ini, nilai tukar rupiah bergerak pada kisaran 14.715-14.828 per dolar AS.

Sementara itu, kurs tengah atau kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah melemah menjadi 14.728 per dolar AS pada Selasa ini dari perdagangan Senin yang berada di level 14.696 per dolar AS.

Head of Research Archipelago Asset Management, A.G Pahlevi mengatakan, pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh sentimen global yaitu melemahnya laba industri di China, sehingga memungkinkan menurunnya kinerja ekspor maupun impor dari negeri tirai bambu tersebut.

"Pelemahan rupiah pagi melanjutkan pelemahan kemarin, terkait dengan data pelemahan laba industri China  yang turun 8,8 persen yang mengimplikasi kinerja ekspor impor berpotensi kembali tertekan." jelasnya 

China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, pada 11 Agustus lalu melemahkan mata uangnya. Devaluasi tersebut dilakukan dalam 3 hari berturut-turut dengan nilai kurang lebih masing-masing 2 persen. Langkah China melemahkan nilai tukar ini untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Dengan lemahnya yuan tersebut diharapkan barang produksi China lebih bisa bersaing dengan produk dari negara lain. 

Namun ternyata, langkah devaluasi tersebut tidak berjalan maksimal. Data ekonomi terakhir yang dipublikasikan negara tersebut menunjukkan terjadi penurunan laba industri yang menandakan produktivitas juga mengalami penurunan. 

Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga terjadi karena adanya ekspketasi kenaikan suku bunga yang akan dilakukan oleh Bank Sentral AS (The Fed). Rencana kenaikan suku bunga ini telah muncul sejak tahun lalu. Akibatnya, rupiah juga mengalami tekanan yang cukup dalam sejak akhir tahun lalu. Jika dihitung dari awal 2015, pelemahan rupiah telah mencapai 17,2 persen. (Ilh/Gdn)

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya