Tarif PPh Badan Dipangkas, RI Tetap Kalah dari Singapura

Berbagai negara sedang berkompetisi atau perang tarif untuk menurunkan PPh Badan serendah-rendahnya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 09 Okt 2015, 09:32 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2015, 09:32 WIB
Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana penurunan tarif PPh Pasal 25 (PPh Badan) perusahaan dari 25 persen menjadi 18 persen dikritisi Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo. Pasalnya, kebijakan tersebut tak akan membuat posisi Indonesia mengungguli Singapura dari fasilitas insentif pajak.

Menurut dia, berbagai negara sedang berkompetisi atau perang tarif untuk menurunkan PPh Badan serendah-rendahnya sehingga menarik investor memarkirkan dananya di negara tersebut. Indonesia merupakan salah satunya.

"Tapi sejak 1994, 2008, kita sudah menurunkan tarif PPh Badan. Hasilnya tetap tidak mendorong investasi, dan sekarang mau diturunkan lagi," ujar Prastowo di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu, Jumat (9/10/2015).

Meskipun tarif PPh Badan dipangkas menjadi 18 persen, dia meyakini Indonesia akan tetap kalah dengan negara lain, seperti Singapura. Negeri Singa ini menerapkan tarif PPh Badan 17 persen pada saat ini.

"Singapura bukan takut dengan tarif rendah karena mereka main di tax insentif mengingat Singapura menjadi negara tujuan profit shifting. PPh Badan mereka saja sudah dikenakan tarif rendah 17 persen, belum lagi mereka punya 6 sektor unggulan yang bebas pajak," paparnya.

Prastowo mencontohkan, jika perusahaan berani investasi di Singapura Rp 100 miliar misalnya, maka pemerintah setempat akan memberikan pengurangan pajak yang jauh melebihi nilai investasi tersebut. Dengan kata lain, si penanam modal dibebaskan dari pungutan pajak.

"Kalau investasi katakanlah Rp 100 miliar, maka Singapura bisa memberikan pengurangan pajak sampai Rp 400 miliar. Itu artinya kan tidak bayar pajak. Grup Lippo misalnya, melakukan strategi bisnis pelan-pelan ke Singapura. Jadi bukan main di tarif karena kita tetap akan kalah dari Singapura," terangnya.

Dia menyarankan supaya pemerintah Indonesia melakukan koordinasi pajak dengan Vietnam dan Thailand, mengingat kompetisi paling memungkinkan dengan Singapura adalah melalui BEPS (Base Erosion Profit Shifting).

BEPS menurut OECD memiliki pengertian strategi perencanaan pajak yang mengeksploitasi ketidaksesuaian dalam peraturan pajak demi menghilangkan keuntungan dari pengenaan pajak. Pengertian lainnya, menggeser laba ke lokasi yang pengenaan pajaknya lebih rendah atau bahkan tidak ada pengenaan pajak.

"Singapura sekarang takutnya sama Malaysia, karena Malaysia sekarang ini menjadi hub holding bagi perusahaan. Karena berani memberikan pajak lebih rendah. Indonesia ini terlalu lugu, tidak pernah macam-macam," jelas Prastowo.

Sementara itu, Kasubdit Peraturan Pajak Penghasilan (PPh) Badan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Setyadi Aris mengatakan, di antara negara-negara ASEAN, tarif PPh Badan di Indonesia berada di tengah karena rata-rata memungut 30-35 persen.

"Malaysia dan Singapura memang di bawah kita sedikit. Tapi ini adalah salah satu upaya kita supaya investor menginvestasikan uangnya di Indonesia, meskipun keputusan tetap ada di tangan investor karena Filphina dan Vietnam juga sedang agresif," papar dia.

Untuk mengubah tarif PPh Badan, pemerintah perlu merevisi Undang-undang PPh dan melalui DPR. Pasalnya, kata Aris, di pasal 17 UU PPh, tidak diberikan kewenangan kepada siapapun termasuk Menteri untuk menurunkan tarif PPh.

"Revisi UU ini sudah masuk Prolegnas 2016, jadi mau tidak mau harus siap tahun ini. Mudah-mudahan Panitia Antar Kementerian (PAK) sudah selesai di akhir Oktober 2015. Sedangkan besaran tarif PPh yang diturunkan, masih kita bahas," ujarnya. (Fik/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya