Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jepang menyampaikan keluhan kepada pemerintah Indonesia terkait ketersediaan garam industri dan bea masuk.
Menteri Perindustrian Saleh Husin menyampaikan hal itu usai menerima kunjungan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Tanizaki Yasuzaki di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Saleh mengatakan, kedatangan duta besar negeri sakura tersebut untuk menanyakan ketersediaan garam industri bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia seperti pada industri makanan dan minuman, petrokimia, kaca dan lain-lain.
Advertisement
"Jadi ada masalah soal garam yaitu kebutuhan akan industri perusahaan Jepang yang gunakan garam. Jadi soal ketersedian bahan baku dan sebagainya," ujar Saleh di Kantor Kemenperin, Jakarta, Jumat (9/10/2015).
Selain itu, pihak Jepang juga menyatakan keberatannya terkait rencana pemerintah pengenaan bea masuk garam pada tahun depan.
"Mereka juga agak keberatan impor dikenakan bea masuk. Nanti cost-nya mereka jadi tinggi. Misalnya yang tadinya hanya US$ 38 per ton, kalau ditambah bea masuk US$ 15, jadi US$ 50 lebih. Itu jadi tinggi, dan industri tidak lagi efisien," kata dia.
Terlebih lagi, kebutuhan garam industri dari masing-masing industri tersebut cukup besar. Jika harus dibebankan dengan pengenaan bea masuk untuk bahan baku seperti garam, maka semakin memberat industri.
"Salah satunya seperti Asahimas, kebutuhan garam untuk 1 pabrik sebanyak 1 juta ton per tahun. Belum lagi kebutuhan pabrik kertas, industi lainnya," jelas Saleh.
Dampak pengenaan bea masuk tersebut, Dia mengatakan, produk-produk dari industri yang ada di Indonesia akan kalah bersaing dengan produk yang dibuat di negara lain. Hal ini tentu mengancam keberlangsungan industri-industri tersebut.
"Produk di sini akan kalah bersaing dengan produk dari negara lain. Padahal kita buat deregalasi untuk membuat industri di Indo jadi kompetitif. Kalau ini tidak, maka akan stop produksi. Kebutuhan mereka akan bahan baku ini (garam) pada Oktober ini akan habis," tegas dia.
Selanjutnya, Saleh menyatakan akan berkoordinasi terkait hal ini. Dia berharap ada jalan keluar yang menguntungkan industri.
"Tentu kita respons dan nanti kita bicarakan dengan kementerian lain seperti dengan Kementerian Perdagangan dan Kemenko Kemaritiman. Karena waktu itu keputusannya mulai tahun depan. Meski sudah tidak lagi harus ada rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian, tetapi sebelum peraturan itu berlaku, garam ini tetap harus dipenuhi," tutur Saleh. (Dny/Ahm)