Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor‎ 17/3/PBI/2015 tanggal 31 Maret 2015 yang mengatur tentang kewajiban penggunaan uang rupiah di wilayah NKRI yang diterbitkan Bank Indonesia. PBI ini disusun guna mewujudkan kedaulatan rupiah di Tanah Air.
Namun dalam kenyataannya, sampai saat ini masih banyak perusahaan yang mempekerjakan warga negara asing atau ekspatriat yang berkantor di Indonesia dalam penggajian karyawannya masih menggunakan dolar Amerika Serikat (AS) atau mata uang asing lainnya.
‎Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan, pola penggajian dengan menggunakan dolar tersebut dapat menjadi pemicu tertekannya nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing‎.
"Harusnya mereka itu jangan gaji karyawannya pakai dolar, harus dikonversi ke rupiah. Masyarakatnya kalau juga pakai rupiah dalam transaksi sehari-hari,"‎ kata Enny saat berbincang dengan Liputan6.com seperti ditulis, Senin (16/11/2015).
Baca Juga
Baca Juga
Dengan mewajibkan karyawan perusahaan asing menggunakan rupiah maka akan mengurangi kebutuhan dolar di Indonesia. Hal itu secara langsung akan mengurangi sentimen pelemahan rupiah.
Advertisement
Untuk itu, pemerintah harus menindak tegas kepada perusahaan asing yang masih menggunakan dolar dalam penggajian karyawannya.
Hal lain yang tak kalah penting adalah dengan terus meyakinkan kepada semua pengusaha mengenai prospek ekonomi Indonesia. Ini dilakukan untuk menarik dana-dana orang Indonesia‎ yang diparkir di luar negeri.
"Jadi pemerintah harus buktikan, yakinkan ke mereka, karena memang iya dana mereka sudah mulai masuk. Tapi hanya sebatas pencatatan saja, habis itu keluar lagi," tegas dia.
Pada kesempatan terpisah, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menjelaskan secara keseluruhan transaksi, penggunaan rupiah di dalam negeri masih kalah jika dibandingkan dengan penggunaan mata uang asing.
Untuk itu, Agus mengaku terus menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Bank Indonesia dan pihak terkait untuk selalu mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai arti penting penggunaan rupiah dalam transaksi kesehariannya.
‎"Padahal dalam Undang-undang (UU) Mata Uang tahun 2011 jelas, transaksi antar pelaku harus pakai rupiah, tapi kenyataannya 52 persen transaksi masih dilakukan dengan menggunakan valuta asing," ujar Agus.
‎Dalam PBI Nomor 17/3/PBI/2015 tanggal 31 Maret 2015 dijelaskan, sanksi bagi orang yang tidak menggunakan rupiah di wilayah NKRI dan menolak rupiah untuk pembayaran di wilayah NKRI sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 Mata Uang dengan ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda palin banyak Rp 200 juta sesuai pasal 33 ayat (1) dan (2).
Sedangkan pelanggaran atas kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi non tunai dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis; kewajiban membayar dan larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran. Sanksi kewajiban membayar ditetapkan sebesar 1 persen dari nilai transaksi, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp 1 miliar.
‎Joshua (38), salah satu karyawan asing berwarga negara Australia mengatakan, sebenarnya dia tidak terlalu mempermasalahkan jika harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Hanya saja, dia mensyaratkan jika harus dikonversi ke rupiah, nilai tukar yang digunakan harus selalu mengacu pada kurs internasional atau paling tidak kurs yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
"Saya tidak masalah, karena saya bekerja di Indonesia, saya harus ikuti aturan di Indonesia, ini sudah menjadi kewajiban saya," tambah Joshua yang juga sebagai karyawan di perusahaan properti di Jakarta.
‎Sampai saat ini, Bank Indonesia telah menyelenggarakan berbagai kegiatan sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan rupiah di dalam negeri.
Sebagai contoh, pada bulan Juni 2015, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur mengumpulkan 148 perusahaan Jawa Timur yang berbasis kegiatan ekspor dan impor mengikuti kegiatan sosialisasi ini. (Yas/Ndw)