Liputan6.com, Jakarta - Negara berpotensi dirugikan triliunan rupiah akibat murahnya sewa dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh pengelola Hotel Indonesia dan pusat perbelanjaan Grand Indonesia yaitu PT Grand Indonesia, anak usaha PT Cipta Karya Bumi Indah.
PT Cipta Karya Bumi ditunjuk sebagai pengelola Hotel Indonesia sejak memenangi tender Build, Operate, Transfer (BOT) Hotel Indonesia pada 2002.
Kerja sama operasi pengelolaan Hotel Indonesia diteken BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN), sebagai perwakilan pemerintah, dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia pada 13 Mei 2004.Â
Advertisement
Kala itu Direktur Utama Hotel Indonesia Natour dijabat oleh AM Suseto. Kemudian PT Cipta Karya Bumi membentuk PT Grand Indonesia untuk mengelola bisnis bersama Hotel Indonesia.
Komisaris PT Hotel Indonesia Natour, Michael Umbas mengaku ada ada beberapa fakta janggal yang didapatinya semenjak duduk sebagai komisaris PT HIN pada November 2015.
Dalam kontrak BOT yang diteken PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI)/PT Grand Indonesia (GI), disepakati 4 objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni:
1. Hotel Bintang 5 (42.815 m2)
2. Pusat perbelanjaan I (80.000 m2)
3. Pusat perbelanjaan II (90.000 m2)
4. Fasilitas parkir (175.000m2)
Namun dalam berita acara penyelesaian pekerjaan tertanggal 11 Maret 2009 ternyata ada tambahan bangunan yakni gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski, di mana kedua bangunan ini tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke PT HIN.
Kondisi ini menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi yang lebih besar dari penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut.
"Yang pasti ada dua gedung dibangun di luar kontrak. Itu disewakan itu tidak pernah diperhitungkan. Harusnya, PT HIN dapat kompensasi dari tambahan dua gedung itu. Kami masih menghitung kerugian kompensasi dari 2 gedung," ungkapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (2/2/2016).
Menurut dia, pembangunan 2 gedung ini memiliki nilai ekonomis yang cukup besar sehingga setara dengan rencana objek BOT lainnya yang disepakati yakni Hotel bintang 5, Pusat Perbelanjaan I dan II, dan fasilitas Parkir.
Menurut dia, penambahan dua gedung ini mestinya diajukan sejak awal perencanaan dan tercantum dalam objek BOT. Hal ini jelas tidak sesuai TOR dan perencanaan awal yang disetujui kementerian BUMN.
"PT HIN tidak mendapat kompensasi apa-apa dari pemanfaatan lahan ini," paparnya.
Selain itu, lanjut Michael, PT GI juga tidak kooperatif dan transparan dalam menyampaikan laporan pemeliharaan, tidak memberi rincian nilai biaya pemeliharaan.
Seharusnya alokasi biaya pemeliharaan sebesar 4 persen dari nilai pendapatan pengelolaan obyek BOT, namun PT GI tidak pernah transparan terkait nilai keuntungannya dan ini berpotensi kerugian bagi PT HIN yang akan menerima objek BOT di kemudian hari.
Tak hanya itu, ada sejumlah hal lain yang juga jadi temuan dan sedang dalami seperti besaran nilai kompensasi, pengalihan sepihak penerima BOT dari PT CKBI ke PT GI, terjadi pengagunan HGB ke Bank.
"Kami tidak punya data berapa jumlah tenant di Grand Indonesia, keuntungan secara pasti besarannya berapa. PT HIN hanya dapat kompensasi Rp 10 miliar per tahun, lalu pada lima tahun kedua naik Rp 1 miliar jadi Rp 11 miliar sehingga tiap bulannya tidak sampai Rp 1 miliar," jelas dia.
Satu yang cukup serius yaitu terkait opsi perpanjangan BOT 20 tahun pada tahun 2010 dengan kompensasi tidak maksimal dan dilakukan jauh sebelum masa kontrak 30 tahun berakhir. Sebelumnya, temuan terbaru BPK menyebutkan ada potensi kerugian negara Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai perjanjian.
"Temuan BPK itu dengan asumsi perpanjangan 20 tahun itu nilainya Rp 400 miliar dibayarkan ke direksi yang lama. Kompensasi Rp 400 miliar itu terlalu murah, perpanjangan itu 25 persen kali dari nilai jual obyek pajak (NJOP), harusnya NJOP 2014 total bangunan Rp 6 triliun itu sekitar Rp 1,5 triliun dengan asumsi 2014. Tapi NJOP-kan naik terus, jadi ini akan lebih rugi lagi," ungkapnya.
Merujuk pada fakta-fakta, tindakan-tindakan yang dilakukan PT GI telah memberi dampak kerugian yang besar bagi PT HIN selaku korporasi.
"Sebagai komisaris yang baru ditugaskan di PT HIN (November 2015) kami menilai harus ada langkah-langkah penyelamatan aset negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kami, direksi dan komisaris baru masih mempelajari dokumen tersebut. Kenapa selama ini tidak ada yang pertanyaan? Kalau didiamkan, nanti saya sebagai komisaris bisa masuk pasal pembiaran. Itu tidak boleh terjadi," tegasnya.
Michael juga mengaku telah melaporkan masalah ini ke Menteri BUMN Rini Soemarno. Menurutnya, perseroan tengah menyiapkan langkah hukum untuk menuntut hak-hak tersebut.
"Masalah ini sudah dilaporkan ke Bu Menteri. Ibu Menteri sangat mendukung karena sesuai ketentuan kita harus menuntut hak itu," jelas Michael.
Sementara itu, saat dikonfirmasi Anggota VII BPK, Achsanul Qosasi membenarkan adanya temuan potensi kerugian tersebut. Namun dia enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai hal tersebut.
"Saya tidak mau banyak komentar karena hal ini belum dilaporkan ke DPR," kata dia. (Ndw/Gdn)