Untung Rugi Penguatan Rupiah

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan penguatan pada tahun ini.

oleh Arthur Gideon diperbarui 04 Mar 2016, 20:25 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2016, 20:25 WIB
20151229-Transaksi-Rupiah-AY
Teller menghitung uang rupiah di Bank Bukopin Syariah, Jakarta, Selasa (29/12). Rupiah kembali melemah, di tengah sepinya transaksi jelang libur Tahun Baru Hingga akhir pekan, pergerakan rupiah diperkirakan masih terbatas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan penguatan pada tahun ini. Penguatan rupiah tersebut memberikan dampak positif, namun juga perlu diwaspadai. 

Mengutip Bloomberg, Jumat (4/3/2016), rupiah ditutup di level 13.132 per dolar AS, menguat 20 poin jika dibandingkan dengan pembukaan yang ada di level 13.152 per dolar AS.

Pada perdagangan hari ini, rupiah bergerak di kisaran 13.052 per dolar AS hingga 13.187 per dolar AS. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah menguat hampir 5 persen atau tepatnya 4,76 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) rupiah pada perdagangan hari ini dipatok di angka 13.159 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.260 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, penguatan rupiah menurut Jisdor BI mencapai 5,32 persen.

Penguatan rupiah ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tersebut memberikan dampak positif kepada ekonomi nasional.

Pada Januari 2016, BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Pada Februari penurunan tersebut diulangi dengan level yang sama. Saat ini suku bunga acuan atau BI Rate berada di level 7 persen.

"Selama inflasi terkendali, ada potensi bagi suku bunga acuan untuk kembali turun," jelas head of balance-sheet trading at PT Bank ANZ Indonesia Wiling Bolung.

Analis PT Bank Woori Saudara Indonesia Tbk, Rully Nova menuturkan faktor ketidakpastian kenaikan suku bunga AS sudah hilang. Hal ini membuat pergerakan rupiah semakin menguat.

"Tidak ada isu lagi. Isu terbesar di Amerika Serikat sudah reda. Sekarang tergantung fundamental ekonomi. Jadi masih ada ruang rupiah untuk menguat," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.

Dampak Positif
Petugas menunjukkan uang pecahan US$100 di penukaran uang, Jakarta, Rabu (23/9/2015). Mata uang Rupiah  sempat melemah ke level 14.655 per dolar AS pada perdagangan pukul 09.50 waktu Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dinilai akan membawa dampak positif bagi produk makanan olahan Indonesia. Penguatan tersebut dinilai akan membuat harga baku impor menurun sehinggga berdampak pada daya saing produk.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nus Nuzulia Ishak mengatakan, selama ini industri makanan olahan dalam negeri masih bergantung pada bahan baku impor. Jika rupiah menguat, maka biaya produksi industri akan mengalami penurunan.

"Saya kira dengan menguatnya rupiah untuk beberapa komoditi ekspor, misalnya saja adalah process food di mana kebergantungan konten impornya cukup tinggi," ujar Nus di Jakarta, Jumat 4 Maret 2016.

Menurut Nus, jika biaya produksi turun maka harga jual produk makanan bisa lebih murah. Dengan demikian, maka produk makanan lokal bisa bersaing dengan produk sejenis dari negara lain.

"Ini akan memberikan peningkatan daya saing. Dengan menguatnya rupiah, sudah tentu kita akan lebih murah lagi harga dari makanan olahan ekspor sendiri," lanjutnya.

Prediksi
Petugas merapikan uang di Kantor Kas Bank Mandiri, Jakarta, Senin (4/1/2016). Nasib rupiah di tahun 2016 sulit menguat di tengah tingginya permintaan dollar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Pengamat valuta asing (valas) Farial Anwar memperkirakan tren penguatan rupiah bakal berlanjut seiring meredanya sentimen negatif yang datang dari negara lain. Nilai tukar rupiah diramalkan berpeluang menguat hingga ke bawah level 13.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Penguatan Rupiah sangat terbuka sampai ke bawah 13.000 per dolar AS sepanjang tidak ditahan oleh Bank Indonesia (BI)," ujar Farial saat dihubungi Liputan6.com.

Menurut Farial, faktor eksternal yang semula menghantam hampir seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah perlahan sudah berakhir, di antaranya ketidakpastian penyesuaian suku bunga The Fed dan devaluasi mata uang yuan China untuk mendorong ekspor.

"Faktor eksternal yang selama ini mengganggu pasar dunia, termasuk kurs rupiah. Ketidakpastian suku bunga AS sudah berakhir," ucap Farial.

BI Waspadai
Petugas merapikan uang di Kantor Kas Bank Mandiri, Jakarta, Senin (4/1/2016). Nasib rupiah di tahun 2016 sulit menguat di tengah tingginya permintaan dollar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Penguatan rupiah ini menjadi perhatian BI. Alasannya, penguatan yang terjadi sejak awal 2016 disokong oleh aliran dana asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia. BI tentu saja mewaspadai aliran dana masuk tersebut karena ada kemungkinan jika dana-dana tersebut tiba-tiba keluar bakal menyeret rupiah kembali ke dalam tren pelemahan.

Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, Indonesia dihadapkan pada dua situasi ekonomi global yang bertolak belakang. Amerika Serikat (AS) mengetatkan kebijakan moneter, tetapi negara lain justru melonggarkan kebijakan moneter.

"Dengan pengetatan moneter ini, uang akan lari ke AS. Tapi statement dari AS sendiri kelihatannya mulai ragu terhadap kondisi ekonominya, inflasi juga masih rendah. Jadi ini yang membuat kebijakan melebar dan menyempit tahun ini," ia menerangkan.

Imbasnya, menurut Juda, aliran dana asing kembali menyerbu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tak heran bila capital inflow masuk pada Januari-Februari ini, sehingga mendorong penguatan rupiah. 

"Saya rasa peluang penguatan rupiah masih akan ada, karena kita masih cukup otimistis inflow akan masuk," kata Juda.

Meskipun demikian, Juda mengingatkan agar Indonesia tetap waspada terhadap kemungkinan dana asing itu 'pulang kampung' ke AS apabila Negeri Paman Sam itu kembali mengambil langkah pengetatan moneter.

Sesuai fundamental
Petugas menghitung uang pecahan US$100 di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)
Pemerintah tidak berharap rupiah semakin perkasa. Alasannya, penguatan rupiah membuat produk dalam negeri kian mahal dan dampaknya tidak bisa bersaing dengan produk negara lain. "Tentu kita tidak ingin terlalu kuat di atas ‎fundamentalnya," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution.

Meski tak menyebut level fundamental rupiah, Darmin mengaku, penguatan kurs Rupiah dipicu derasnya aliran modal masuk (capital inflow) dari para investor yang menilai Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menjanjikan.

"Secara global, kecenderungan negara maju menurunkan tingkat bunga. Kita walaupun turun, masih relatif tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi kita dianggap tidak turun malah membaik. Sehingga para pemilik dana menganggap investasi di Indonesia menjanjikan, uangnya masuk ke sini dan Rupiah menguat," jelasnya.

Pemerintah, kata Darmin berusaha untuk meneruskan implementasi kebijakan stabilisasi Rupiah dari sisi fiskal, berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter agar dana asing yang sudah masuk tidak buru-buru kabur atau pulang kampung. (Gdn/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya