Rudiantara: Mau Operasi di RI, Uber Harus Buat Badan Usaha

Pemerintah akan mendorong Uber untuk membentuk badan usaha tetap (BUT) di Indonesia

oleh Septian Deny diperbarui 15 Mar 2016, 21:00 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2016, 21:00 WIB
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, saat jumpa terkait pertemuannya dengan Uber dan GrabCar di Ruang Serbaguna Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Selasa (15/3/2016). (Liputan6.com/M Wahyu Hidayat)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah akan mendorong Uber untuk membentuk badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Tujuannya adalah agar Uber ikut aturan di Indonesia di mana setiap lini bisnis harus memiliki badan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.

Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan, sebenarnya jika melihat dari sisi aplikasi, pihaknya tidak mengeluarkan aturan khusus soal aplikasi transportasi ini. Namun karena aplikasi ini terkait dengan bisnis transportasi, maka harus memiliki badan usaha resmi di Indonesia.

"Dari sisi aplikasinya, tidak ada aturan khusus yang dikeluarkan oleh Kominfo. Tapi kalau ada PSE (penyelenggara sistem elektronik) dari luar (asing) harus membentuk badan usaha tetap. Aturan ini pada akhir bulan ini akan dikeluarkan," ujarnya di Jakarta, Selasa (15/3/2016).

Menurut Rudi, hal ini yang harus dilakukan oleh Uber. Karena seperti diketahui, selama beroperasi di Indonesia, layanan aplikasi tersebut tidak berbadan usaha resmi sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan.

"Kalau mau masuk ke Indonesia harus bikin perusahaan di Indonesia, melaporkan ke BKPM, harus dalam badan usaha tetap," kata dia.

Adanya BUT ini, lanjut Rudi, sangat penting untuk menjadi penjamin keselamatan dan keamanan dari pengguna layanan ini. Dengan adanya BUT, pemerintah bisa melakukan kontrol terhadap pelayanan yang diberikan.

"Alasanya, pertama soal costumer service misalnya. Kalau penggunanya mau komplain itu harus ke mana? Kalau badan usahanya di luar negeri kan sulit," katanya menjelaskan alasan pertama.

Alasan yang kedua, lanjutnya, terkait keamanan data-data pengguna aplikasi tersebut. Jika berada di luar negeri, pemerintah akan sulit menjaga data-data tersebut.

"Ketiga, ini dalam konteks legal dan juga soal perpajakannya. Masa OTT (over the top/penyedia layanan berbasis internet) Indonesia bayar pajak, OTT asing nggak," jelasnya.

Meski selama ini tidak memiliki BUT, Rudi memberikan sinyal belum akan melakukan pemblokiran terhadap aplikasi yang menuai kontroversi di berbagai negara ini.

"Kebijakan bahwa Over The Top (OTT) Internasional keberadaan harus dalam badan usaha tetap," tandasnya. (Dny/Zul)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya