Pengusaha Batu Bara Tagih Restitusi PPN Rp 1,5 Triliun

Ditjen Pajak berpegang pada Undang-Undang PPN pada 2009 yang menyatakan bahwa batu bara bukan termasuk ke dalam Barang Kena Pajak (BKP).

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 19 Mei 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2016, 19:15 WIB
Batu Bara
(ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menagih Direktorat ‎Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk segera membayar kelebihan pembayaran pajak (restitusi). Dalam hitungan APBI, besaran restitusi yang belum dibayarkan mencapai Rp 1,5 triliun.

Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir mengatakan, ada 11 perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), khususnya pada PKP2B generasi ketiga yang menanti restitusi dari pembayaran Pajak Penambahan Nilai (PPN) dari Ditjen Pajak.‎

Dari 11 perusahaan PKP2B ada dua yang berstatus terbuka atau terdaftar (Tbk) di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan selebihnya berstatus milik pribadi.  "APBI sudah mengidentifikasi ada 11 perusahaan PKP2B yang mengalami kesulitan dengan hak restitusi ini‎," kata Pandu, di Jakarta, Kamis (19/5/2016).

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai instansi yang mengurusi ‎sektor pertambangan telah membantu agar restitusi tersebut dibayar. Namun, Ditjen Pajak belum memberi kepastian.

"Tinggal kita menunggu bagaimana respon pihak Ditjen Pajak. Jadi yang pertama-tama restitusi ini diakui tidak oleh pihak Ditjen pajak, setelah itu apa tindak lanjutnya,"‎ tutur Pandu.

‎Pandu melanjutkan, APBI telah melayangkan surat ke Ditjen Pajak, meminta kejelasan pembayaran restitusi tersebut. "Ini masih tarik ulur dengan ditjen Pajak. Kami sudah melayangkan surat secara official. Karena ada pergantian di Dirjen Pajak, maka kami mengulangi mengirim surat. Sepertinya kantor Pajak tidak punya uang untuk restitusi ini," terang Pandu.

APBI pun meminta Kementerian Keuangan menindaklanjuti rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengenaan PPN pada pengusaha batu bara. Saat ini ada perlakuan yang berbeda-beda terkait restitusi PPN.

Direktur Eksekutif APBI Supriatna Suhala mengatakan, ‎ ada ketidaksamaan dalam penerapan pungutan PPN pada perusahaan PKP2B, khususnya pada PKP2B generasi ketiga. Hal tersebut telah menjadi temuan BPK dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2014.

"Di PKP2B generasi I tidak dikenakan PPN, Generasi II prevailing, Generasi III kembali berubah lagi, di situ sudah ada PPN karena lahir 1997-2000 batu bara barang kena pajak," ungkap Supriantna beberapa waktu lalu.

APBI pun menginginkan adanya keadilan dalam mekanisme restitusi PPN dari Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Pasalnya, perusahaan pemegang PKP2B generasi III mendapat perlakuan restitusi PPN yang berbeda-beda.

"Perbedaan perlakuan ini tidak adil dan jelas melanggar konstitusi. Diskriminasi seperti ini juga berdampak ketidakpastian usaha," jelas dia.

Supriatna mengungkapkan, sesuai dengan PKP2B generasi III, kontrak berstatus sebagai pengusaha kena pajak (PKP) karena batu bara termasuk ke dalam barang kena pajak (BKP), sehingga wajib menyetorkan pajak kepada negara termasuk PPN. Oleh karena itu, kontraktor tambang berhak atas restitusi PPN jika terjadi kelebihan bayar.

Namun, Ditjen Pajak berpegang pada Undang-Undang PPN pada 2009 yang menyatakan bahwa batu bara bukan termasuk ke dalam Barang Kena Pajak (BKP) karena batu bara adalah barang yang diambil dari sumbernya.

"Akibatnya, ketika kontraktor tambang ingin mengklaim restitusi PPN, Ditjen Pajak tidak dapat mencairkan restitusi tersebut, karena berpegang pada rezim pajak berdasarkan UU PPN 2009," tutup dia.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya