Meski Menguat, Rupiah Masih Bertahan di 13.500 per Dolar AS

Sentimen yang menekan rupiah masih soal ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (the Fed).

oleh Arthur Gideon diperbarui 20 Mei 2016, 13:26 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2016, 13:26 WIB
20151009-Dollar-Turun
Pengunjung mendatangi tempat penukaran uang di Jakarta, Jumat (9/10/2015). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (9/10/2015) mengalami penguatan, bahkan bergerak ke level Rp 13.400. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih bertahan di kisaran 13.500 per dolar AS. Sentimen yang menekan rupiah masih soal ekspektasi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (the Fed).

Mengutip Bloomberg, Jumat (20/5/2016), rupiah dibuka di angka 13.594 per dolar AS. Level tersebut melemah jika dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya yang ada di angka 13.565 per dolar AS.

Namun rupiah terus menguat ke angka 13.557 per dolar AS pada perdagangan pukul 09.25. Dari pagi hingga siang, rupiah berkutat di kisaran 13.557 per dolar AS hingga 13.611 per dolar AS.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah dipatok di angka 13.573 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di 13.467 per dolar AS.

Pelemahan rupiah ini berbarengan dengan beberapa mata uang di negara berkembang. Peso Kolombia, Rubel Rusia dan Rand Afrika Selatan juga melemah. Untuk rupiah merupakan pelemahan mingguan terburuk jika dihitung sejak September.

Sentimen utama pelemahan rupiah adalah ekspektasi kenaikan suku bunga the Fed. Dalam survei Bloomberg, analis dan ekonom yang yakin bahwa Bank Sentral AS akan menaikkan suku bunga pada Juni tercatat 28 persen, naik jika dibandingkan dengan pekan kemarin yang hanya 4 persen saja.

Sedangkan analis dan ekonom yang yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga pada September mencapai 58 persen, naik jika dibandingkan survei sebelumnya yang ada di angka 34 persen.

"Jika the Fed tidak akan menaikkan suku bunga pada bulan depan, ada kemungkinan dolar AS akan terus menguat dan menekan mata uang negara berkembang," jelas analis mata uang ABN Amro Bank NV Singapura, Roy Teo.

Ia melanjutkan, rupiah merupakan mata uang di Asia yang paling rentan terhadap gejolak global. Selanjutkan disusul oleh won Korea dan yen Jepang. Sementara untuk rupee India jauh lebih stabil.

Research Analyst FXTM Lukman Otunuga juga berpendapat yang sama. pasar finansial mengalami volatilitas sangat tinggi karena notulen rapat FOMC ternyata sangat hawkish. Notulen ini membangkitkan ekspektasi bahwa the Fed akan meningkatkan suku bunga di kuartal II.

Dalam catatan tersebut, mayoritas anggota komite atau dewan gubernur menganggap bahwa apabila data domestik AS menunjukkan pertumbuhan ekonomi, maka persyaratan untuk peningkatan suku bunga di bulan Juni atau Juli telah terpenuhi.

Sedangkan ekonom PT Samuel Sekuritas Rangga Cipta mengatakan, walaupun rupiah masih melemah, ruang pelemahan diperkirakan terbatas.

BI mengambil ancang-ancang untuk melakukan pelonggaran moneter lanjutan seraya memangkas proyeksi pertumbuhannya, bisa menjadi katalis untuk mendorong imbal hasil obligasi untuk tidak naik drastis.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya