Benarkah UU Pengampunan Pajak Langgar Konstitusi?

Pengamat perpajakan menilai pengampunan pajak atau tax amnesty dapat meningkatkan basis dan penerimaan pajak.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Jul 2016, 14:26 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2016, 14:26 WIB
	 Pengamat perpajakan menilai pengampunan pajak atau tax amnesty dapat meningkatkan basis dan penerimaan pajak.
Pengamat perpajakan menilai pengampunan pajak atau tax amnesty dapat meningkatkan basis dan penerimaan pajak.

Liputan6.com, Jakarta - Pengesahan Undang-undang Pengampunan Pajak (UU Tax Amnesty) masih menyisakan polemik. Gugatan dari beberapa pihak muncul atas lahirnya payung hukum implementasi tax amnesty atau pengampunan pajak.

Gugatan itu pun rencananya segera langsung digiring ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalani uji materi (judicial review). Isu pelanggaran konstitusi (UUD 1945) yang bakal diujimaterikan seputar masalah ketidakadilan.

Dikutip dari laman resmi Danny Darussalam Tax Centre (DDTC), Selasa (12/7/2016)  berdasarkan perspektif Managing Partner DDTC sekaligus Pengamat Perpajakan Darussalam, isu ketidakadilan ini telah diperdebatkan dengan sengit mulai dari proses ide awal sampai diundangkannya tax amnesty.

Baik oleh pihak yang dari awal memang sudah kontra maupun yang pro tax amnesty maupun oleh pihak yang semula kontra dan kritis, tetapi belakangan malah balik mendukung.

Ketidakadilan yang diusung berupa perlakuan diskriminasi antara wajib pajak patuh dan “tidak patuh”.

Dalam konteks pajak, konsep keadilan merupakan suatu terminologi yang sulit diterjemahkan dan selalu diwarnai perdebatan yang tidak berujung. Termasuk, sama susahnya, ketika mengurai masalah “ketidakpatuhan” wajib pajak.

Kondisi adil merupakan sesuatu yang sulit diterapkan dalam pemungutan pajak. Jarang suatu kebijakan pajak bersifat the best policy, yang tersedia pilihannya adalah the second best policy. Terpenting dalam pajak, justifikasi yang argumentatif kenapa kebijakan tersebut dipilih dan kepastian dalam penerapannya.

Kalau diringkas, turunan dari legalitas dan perdebatan ketidakadilan perlakuan pajak ke dalam ranah konstitusi akan bermuara dalam Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pertanyaannya, apa benar tax amnesty di Indonesia ini tidak mempunyai justifikasi keadilan dan semata-mata hanya dimaknai ketidakadilan dan merugikan penerimaan negara?

Melongok Pengalaman Negara Lain

Melongok Pengalaman Negara Lain

Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah pajak adalah melalui perbandingan dengan negara lain (Victor Thuronyi, 2003). Oleh karena itu, menarik melirik uji materi konstitusionalitas tax amnesty di Jerman dan Kolombia.

Pada 1990, Mahkamah Konstitusi (MK) Jerman mengambil putusan terkait dengan konstitusionalitas tax amnesty. Isu konstitusionalitas tax amnesty ini dibawa ke MK Jerman oleh Pengadilan khusus di bidang Keuangan (Finance Tribunal) dan sekaligus memberikan landasan hukum atas penerapan tax amnesty di Jerman.

Dalam pandangan Finance Tribunal, pemberian tax amnesty dianggap bertentangan dengan konstitusi Jerman. Konstitusi Jerman (Grundgesetz) mengatur tentang perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Intinya, mereka yang sama diperlakukan sama (like things must be treated alike) dan mereka yang tidak sama diperlakukan tidak sama (unlike must be treated unlike). Setiap aturan yang menyimpang dari prinsip equality ini harus dijustifikasi berdasarkan alasan yang objektif.

Dalam putusannya, MK Jerman memiliki pandangan yang berbeda dengan Finance Tribunal. MK Jerman menganggap tujuan dari tax amnesty adalah membawa kembali wajib pajak yang selama ini tidak melaporkan penghasilannya untuk berlaku jujur dengan melaporkan seluruh penghasilan yang diterimanya.

MK Jerman mempertimbangkan tax amnesty sebagai suatu “jembatan” kepada wajib pajak yang selama ini tidak patuh untuk kembali patuh terhadap hukum pajak (bridge to legality).

Jadi, menurut MK Jerman, perlakuan yang berbeda antara wajib pajak yang tidak patuh dan wajib pajak patuh dijustifikasi oleh tujuan dan maksud dari legislasi tax amnesty. Yaitu, sebagai jembatan menuju kepatuhan dan demi peningkatan penerimaan negara (Jacques Malherbe, 2010).

MK Jerman mempertimbangkan motif dari legislasi tax amnesty. Motif utama dari legislasi tax amnesty adalah untuk mengatasi permasalahan fiskal (Martin Kellner, 2005). MK Jerman menyatakan dengan ada tax amnesty, ke depan tidak ada lagi wajib pajak yang dapat menyembunyikan penghasilannya dari kejaran otoritas pajak.

Implikasinya, atas penghasilan yang selama ini disembunyikan tersebut akan dikenakan pajak. Tentu ini akan meningkatkan penerimaan negara karena penambahan subjek dan objek baru untuk basis penerimaan pajak.

Alasan untuk memperkuat basis pajak, melalui pengumpulan informasi dan pengungkapan aset, yang juga menjadi dasar MK Kolombia memutus tax amnesty (disebut Normalization Tax) tidak melanggar konstitusi (Luz Clemencia Alfonso Hostios, 2015).

Apa yang bisa dipetik dalam kasus uji materi tax amnesty di Jerman dan Kolombia seperti diuraikan di atas? Yaitu, menjaring wajib pajak “tidak patuh” yang selama ini sulit dijangkau dengan kebijakan dan sistem administrasi pajak yang ada.

Ke depan, perlakuan pajak akan menjadi adil karena beban pajak akan dialokasikan berdasarkan kondisi sebenarnya dari semua wajib pajak (Jacques Malherbe, 2010).

Pada akhirnya, dengan tax amnesty, basis dan penerimaan pajak akan meningkat. Kenaikan penerimaan pajak tersebut digunakan untuk (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta (ii) memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dicita-citakan bangsa Indonesia yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945. (Fik/Ahm)

 

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya