RI Khawatir Menanti Aturan Baru Perikanan Amerika Serikat

Indonesia sangat berkepentingan terhadap aturan perikanan AS yang baru karena bisa berdampak pada kinerja ekspor perikanan nasional.

oleh Septian Deny diperbarui 09 Agu 2016, 11:37 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2016, 11:37 WIB
20160523-Target Penyaluran Kredit di Bidang Kelautan dan Perikanan 2016
Aktivitas pedagang ikan di Pasar Senen, Jakarta, (23/5). Kredit untuk sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2016 dapat mencapai hingga sebesar Rp9,2 triliun. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) tengah memantau secara ketat rencana pemberlakuan rancangan peraturan ekspor ikan ke Amerika Serikat (AS) melalui skema SIMP (Seafood Import Monitoring Program). Sebab Indonesia sangat berkepentingan terhadap aturan ini yang bisa berdampak pada kinerja ekspor perikanan nasional.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Dody Edward mengatakan, US National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) adalah pihak yang mengusulkan rancangan peraturan US SIMP dan US Commerce Trusted Trader Program.

"Rancangan peraturan melalui skema SIMP rencananya akan diberlakukan pada Agustus atau September 2016 ini. Kami minta semua pelaku usaha di bidang perikanan memperhatikan aturan ini dengan cermat," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (9/8/2016).  

Dody menjelaskan, skema SIMP yang diusulkan NOAA pada intinya mengatur tiga hal pokok. Pertama, pengklasifikasian at-risk species yaitu 17 spesies yang pernah tercatat sebagai hasil Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF).

Kedua, penerapan kewajiban traceability dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species produk perikanan hasil tangkap maupun budidaya. Ketiga, penyediaan informasi rantai pasok mulai dari kapal, lokasi tangkap/budidaya, alat tangkap, proses pengangkutan, pengolahan, sampai dengan proses ekspor.

"Peraturan ini harus dilihat secara cermat karena Amerika merupakan negara tujuan utama ekspor perikanan nasional," kata dia.

Menurut Dody, ada tiga alasan spesifik, mengapa aturan ini penting dicermati semua pihak. Alasan pertama, mayoritas yaitu 84 persen produk ekspor ikan dan produk ikan Indonesia dikelompokkan ke dalam kelompok at-risk species.

Kedua, kewajiban traceability dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species ini hanya diberlakukan bagi negara eksportir, sedangkan pelaku usaha lokal AS dibebaskan dari kewajiban ini.

Alasan ketiga adalah data rantai pasok mulai dari pelabuhan pengiriman (port of harvest) hingga pelabuhan destinasi (port of commerce) yang rencananya hanya dapat diakses Pemerintah AS.  

"Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri secara aktif terus mengikuti perkembangan dan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai tahapan penyusunan rancangan peraturan ini agar tidak mengganggu ekspor perikanan nasional," ungkap dia.

Kemendag juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan asosiasi perikanan  untuk membahas langkah-langkah antisipatif menghadapi pemberlakuan SIMP. Beberapa upaya dilakukan, misalnya melakukan lobi ke dalam Indonesia-US MoU on Maritime Cooperation dan pelaksanaan FAO Port State Measures Agreement.

Selain itu, Direktor Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag juga melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha perikanan agar memahami  rencana pemberlakuan skema traceability tersebut.

Berdasarkan data BPS, ekspor produk perikanan Indonesia ke dunia pada 2015 tercatat mencapai US$ 3,60 miliar. Dari nilai tersebut, pangsa ekspor produk perikanan ke AS mencapai 40 persen atau tercatat sebesar US$ 1,44 miliar pada 2015. Nilai tersebut mengalami penurunan 21 persen atau US$ 0,39 miliar dibandingkan 2014 yang sebesar US$ 1,83 miliar.

Sementara pada periode Januari-Mei 2016 kinerja ekspor produk perikanan ke dunia mengalami peningkatan sebesar 2 persen bila dibandingkan dengan Januari-Mei 2015,  dari US$ 1,52 miliar menjadi US$ 1,56 miliar. Negara tujuan ekspor utama pada 2015 yaitu AS, Jepang, dan Inggris‎.(Dny/Nrm)


Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya