Pengusaha Nilai Kenaikan Harga Rokok Berpotensi PHK

Pengusaha menilai menaikkan harga rokok tanpa pertimbangan akan berpengaruh pada industri dan tenaga kerja.

oleh Zulfi Suhendra diperbarui 22 Agu 2016, 20:15 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2016, 20:15 WIB
Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menilai menaikkan harga rokok tanpa pertimbangan akan berpengaruh pada industri dan tenaga kerja. Harga rokok yang mahal akan menimbulkan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto mengatakan, bila kenaikan itu tidak didasari dengan pertimbangan dan riset yang jelas akan memukul industri dan para tenaga kerja.

“Pasalnya, pada kenaikan cukai sebesar 11,7 persen saja sudah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 32.279 orang pada kurun waktu 2012 sampai 2015. Apalagi bila dinaikkan sampai Rp 50 ribu harga per bungkus rokok, tentu kenaikan cukai berkali-kali lipat besarnya,” kata Sudarto dalam keterangannya, Senin (22/8/2016).

Para tenaga kerja tersebut datang dari industri kretek yang merupakan industri padat karya. Ditambah, mayoritas dari mereka berpendidikan rendah.

“Sehingga ketika dirumahkan, mereka tak mampu bersaing dan bekerja di industri lain. Dan ini sangat berbahaya,” jelasnya.

Seperti yang diketahui, riset kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu dikeluarkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM – UI). Riset itu memicu kekhawatiran dari industri, tenaga kerja, dan petani.

Sudarto meminta, seharusnya riset mencari jalan keluar yang bijak, bukan menyudutkan pihak-pihak tertentu. Dalam riset juga harus dicari jalan keluar.

“Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab,” terang Sudarto.

Selain tenaga kerja, hal lain yang diakibatkan atas dampak kenaikan harga Rp 50 ribu adalah semakin banyaknya beredar rokok ilegal. Hingga saat ini, kata Sudarto, jumlah rokok ilegal berada di angka lebih dari 11 persen.

“Nantinya, tentu yang akan dirugikan adalah pemerintah karena penerimaan cukai akan turun,” ucapnya.

I Ketut Budiman Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) mengatakan, riset yang dilakukan oleh orang yang kontra rokok tentu akan membuahkan ketidakadilan.

“Fokus mereka kan kesehatan, tapi bagaimana dengan tenaga kerja dan petani, apakah mereka pikirkan?” katanya.

Budiman menegaskan, saat ini produksi cengkeh di Indonesia sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun. Lebih dari 90 persen diserap oleh industri rokok.

“Dan sekitar 94 persen diserap oleh industri rokok. Jika nanti industri itu terganggu akibat kenaikan harga ini, mau di kemanakan hasil cengkeh ini?” lanjutnya.

Belum lagi jumlah petani cengkeh di Indonesia mencapai 1 juta orang. Bila produksi mereka terganggu, lanjutnya, tentu akan mendatangkan masalah baru.

“Alangkah lebih baik bila riset seperti itu digunakan untuk solusi yang tepat. Jangan berat sebelah tanpa memperhatikan kehidupan orang lain,” tuturnya.

Sementara itu, Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz menegaskan, industri tidak terpengaruh dengan isu tersebut,

“Sebab kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan harga secara semena-mena. Jadi isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkusnya itu kami anggap hoax,” ujarnya.

Hingga kini Kementerian Keuangan belum keluarkan kebijakan dan sedang dalam proses konsultasi dengan berbagai pihak.`

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya