Isu Kenaikan Harga Rokok Hanya Timbulkan Kegaduhan di Masyarakat

Kenaikan harga yang tinggi tidak menjamin akan menurunkan jumlah perokok aktif.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Agu 2016, 14:47 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2016, 14:47 WIB
Pabrik (Ilustrasi)
Sejumlah pekerja menyelesaikan proses pelintingan rokok di pabrik rokok PT. Djarum, Kudus, Jateng, Selasa (8/4). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta pemerintah mengkaji secara mendalam jika memang benar-benar ingin menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus. Sebab, isu kenaikan harga rokok yang muncul dari penelitian perguruan tinggi ini berdampak besar bagi petani tembakau dan industri rokok di dalam negeri.

Ketua Umum APTI Soeseno Riban menilai, hasil penelitian Hasbullah Thabrany dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan berpotensi besar menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Pasalnya, kenaikan harga rokok yang diusulkan dalam kajian tersebut lebih dari 50 persen.

"Isu ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat Indonesia. Terlebih lagi pada petani tembakau, petani cengkih, pekerja pabrik, sampai ke asongan. Mereka ini yang menggantungkan mata pencarian dari industri hasil tembakau (IHT)," ujar dia di kawasan Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016).

Menurut Soeseno, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, ada sekitar 1.200 pabrik rokok yang gulung tikar dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 102.500 pekerja di sektor ini. Maka jika harga rokok naik hingga Rp 50 ribu, dikhawatirkan jumlah pabrik rokok yang gulung tikar semakin besar dan berdampak pada PHK massal.

"Kami meminta pemerintah tegas terhadap wacana kenaikan harga ini agar tidak merugikan petani tembakau dan petani cengkih. Kalau akibat penelitian ini banyak pekerja yang dirumahkan, nanti siapa yang mau bertanggung jawab?" kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz mengatakan, penelitian yang dilakukan oleh Hasbullah Thabrany ini ‎kurang tepat. Pasalnya penelitian ini hanya menggunakan metode survei persepsi.

Menurut dia, kenaikan harga yang tinggi tidak menjamin akan menurunkan jumlah perokok aktif. Kenaikan harga ini dinilai hanya akan menyuburkan peredaran rokok ilegal.

“Ketika harga rokok naik, rokok ilegal jadi semakin marak. Hal ini juga bertentangan dengan semangat kelompok kesehatan, sebab rokok ilegal tidak melalui proses yang tidak sesuai," kata dia.

Sebagai kepala lembaga milik negara, Hasbullah Thabrany (Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI), seharusnya tidak (mengeluarkan usulan) yang akan merugikan pemerintah. Usulan kenaikan ini akan merugikan banyak pihak, karena industri ini kaitannya banyak, baik yang langsung atau pun tidak langsung.

“Kami yakin pemerintah tidak akan menaikkan secara sekonyong-konyong, ada mekanismenya dalam menaikkan harga rokok. Jadi kami tidak mau berandai-andai jika rokok sampai dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus,” tandas dia. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya