Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah menggulirkan program pengampunan pajak (tax amnesty). Sebagai wajib pajak yang baik, masyarakat harus mengenali risiko dan konsekuensi yang didapatkan jika memutuskan ikut atau tidak ikut dalam program ini.
‎Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, jika wajib pajak memilih ikut tax amnesty namun tidak jujur, maka harus berhati-hati. Pasalnya, harta yang tidak diungkap saat ikut program ini dan ditemukan oleh kantor pajak sampai dengan 1 Juli 2019, akan dianggap sebagai tambahan penghasilan.
"Dan dikenai pajak sesuai ketentuan dan sanksi 200 persen dari pajak yang terutang," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Senin (29/8/2016).
Baca Juga
Sementara di sisi lain, jika wajib pajak memilih tidak ikut tax amnesty dan terdapat harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh, dianggap tambahan penghasilan dan dikenai pajak dan sanksi sesuai Undang-Undang (UU) yang berlaku.
"Maka wajib pajak yang memilih tidak ikut tax amnesty harus segera menyampaikan pembetulan SPT sebelum 31 Maret 2017. Jadi ‎semua pilihan punya risiko dan konsekuensi, termasuk jika mengacu ke UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak," lanjut dia.
Dengan demikian, lanjut Yustinis, wajib pajak yang memilih ikut maupun tidak ikut program tax amnesty dituntut untuk jujur. Jika tidak, maka akan dikenai sanksi yang memberatkan.
Menurut dia, UU Pengampunan Pajak justru dimaksudkan menjadi sarana rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat wajib pajak. Dan perpajakan memiliki sifat gotong royong yang hanya bisa terwujud jika ada saling percaya.
"Melalui tax amnesty justru pemerintah merelakan kewenangannya melakukan penegakan hukum yang keras dan memberi kesempatan bagi semua warganegaranya untuk berpartisipasi," tandas dia. (Dny/Ndw)
Advertisement