Kenaikan Cukai Rokok Harus Realistis

Kenaikan harga yang terlalu tinggi atau tidak bertahap sangat membebani industri rokok.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 02 Sep 2016, 20:47 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2016, 20:47 WIB
Harga Rokok Akan Menjadi 50 Ribu Perbungkus, Masih Mau Ngerokok?
Ilustrasi rokok. (via: istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah harus menaikkan cukai rokok secara realistis. Alasannya, kenaikan cukai rokok yang terlalu tinggi akan mengganggu industri rokok dari hulu sampai hilir.

Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Budidoyo menerangkan, wacana kenaikan cukai rokok yang signifikan sehingga membuat harga rokok mencapai Rp 50 ribu tidaklah realistis. 

"Harga yang itu sangat tidak rasional, kalau mau naik harusnya di kisaran 6 persen," kata dia dalam acara Politik Tembakau: Defisit Anggaran vs Perang Kepentingan di Jakarta, Jumat (2/9/2016).

Kenaikan harga yang terlalu tinggi atau tidak bertahap sangat membebani industri rokok. Kenaikan harga terlalu tinggi tersebut akan mengurangi pendapatan perusahaan dan dampaknya industri rokok akan mengurangi tenaga kerja untuk efisiensi.

"Kalau Rp 50 ribu jadi berapa persen, artinya kalau drastis maka akan sangat berdampak. Paling dampak signifikan terutama tenaga kerja, pabrik pasti efisiensi," jelas dia.

Tak hanya itu, dia mengatakan, saat ini banyak petani yang juga menggantungkan diri dari tembakau. Dengan kenaikan yang signifikan maka petani akan kehilangan pekerjaannya.

"Memang industri ini penuh kontroversi, karena seksi kontroversi. Di satu sisi ada sekian juta bergantung di situ ada pendapatan negara tidak sedikit. Tapi di sisi lain mengganggu kesehatan," tandas dia.

Sebelumnya pada 31 Agustus 2016, pengamat Hukum Gabriel Mahal menilai, desakan menaikkan harga rokok menjadi lebih mahal semata-mata motif agenda perang dagang dengan industri farmasi global.

Menurut dia, salah kaprah jika kemudian harga rokok Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap tembakau apalagi negara itu juga tidak punya petani tembakau.

Meski tak punya kepentingan terhadap tembakau, di Singapura memiliki fasilitas perokok. Kemudian di Jepang ikut menyiapkan lokasi merokok di kereta, bahkan di stasiun terdapat gerbong khusus untuk perokok.

"Orang boleh merokok dan disiapkan khusus tempat nyaman sampai korek apinya. Sementara di Indonesia, industri hasil tembakau dipojokkan," ujar dia, Rabu (31/8/2016).

Menurut dia, beberapa tudingan terhadap industri tembakau sangat tendensius. "Di situ saya kira kita harus sangat kritis terhadap klaim seperti itu," dia menjelaskan.

Ia turut mewanti-wanti, salah satu poin dalam regulasi FCTC yakni keharusan pemerintah untuk menggunakan produk nikotin sintesis untuk terapi. Hal ini dikatakan akan menambah beban negara dari impor. Padahal, dana itu dari APBN bersumber dari pajak. (Amd/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya