Liputan6.com, Jakarta - Kebutuhan rumah di Provinsi Banten cukup tinggi. Dengan populasi sekitar 10 juta jiwa, kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di daerah tersebut diestimasi mencapai sedikitnya 250 ribu hingga 500 ribu unit. Mayoritas diantara yang belum memiliki rumah adalah para pekerja terutama di sektor industri.
Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Banten Soelaeman Soemawinata mengungkapkan, kebutuhan rumah bagi pekerja industri di Provinsi Banten sangat besar. Hal itu bisa dipahami mengingat daerah ini merupakan salah satu wilayah dengan penduduk terpadat karena posisinya sebagai salah satu kawasan industri penting penyangga Ibukota.
Arus urbanisasi yang tinggi menambah beratnya upaya untuk mengatasi angka kekurangan (backlog) rumah di daerah di ujung barat Pulau Jawa tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, REI Banten belum punya data akurat mengenai besar riil kebutuhan rumah pekerja di Banten. Tapi kalau merujuk data BPJS Ketenagakerjaan Banten, di daerah ini ada 1 juta peserta yang 50 persen adalah MBR. Kalau diasumsikan 25 persen saja yang belum memiliki rumah, maka sedikitnya ada kebutuhan 250 ribu unit.
“Namun ini tentu perlu pemetaan lagi, supaya tahu di mana saja yang kebutuhan rumahnya besar. Yang jelas sebagai kawasan industri, di Banten pangsa pasar rumah pekerja cukup besar,” ungkap Eman, panggilan akrabnya, saat menjadi pembicara dalam acara Indonesia Housing Forum yang ditulis Liputan6.com, Jumat (9/9/2016).
Segmen pekerja selama ini menjadi salah satu target pasar penting yang disasar pengembang anggota REI, selain Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dari target pembangunan rumah bersubsidi di Banten tahun ini sebanyak 10 ribu unit, hampir 70 persen ditujukan untuk memenuhi hunian layak huni bagi pekerja industri seperti di Tangerang, Serang, Cikupa, Cilegon dan Maja.
Jarak Ideal
Namun diakui sebagian besar perumahan yang dibangun untuk pekerja lokasinya relatif masih jauh dari tempat kerja. Padahal, kata Eman, idealnya jarak dari rumah ke tempat kerja tidak boleh lebih dari 15 kilometer atau setengah jam naik motor. Ini penting karena penyediaan rumah bagi pekerja sebaiknya mampu menekan biaya hidup terutama ongkos transportasi.
“Saat ini yang terjadi lokasi rumah dengan tempat mereka bekerja masih jauh, bisa lebih dari 15 kilometer. Banyak yang naik motor pagi-pagi sekali, atau naik angkot beberapa kali untuk sampai tempat kerja. Ini menjadi PR (pekerjaan rumah), bukan saja untuk pengembang namun juga pengusaha dan pemerintah daerah,” tegas Eman.
Dengan kesadaran itu, REI Banten sedang menggiatkan agar pembangunan hunian bagi pekerja dapat dilakukan di lokasi tempat kerja.
Salah satunya dengan melakukan pendekatan persuasif agar pengusaha yang memiliki lahan mau membangun rumah untuk pekerjanya. Dan hasilnya cukup menggembirakan.
Menurut Eman, REI Banten telah banyak menerima permintaan dari pengusaha yang ingin dibangunkan rumah untuk pekerja.
Tidak hanya melakukan pendekatan dengan pengusaha perseorangan, REI Banten juga proaktif dengan menjalin kerjasama dengan Himpunan Pengusaha Serang Timur (Hipwis). Ini adalah paguyuban pengusaha pemilik pabrik di Serang Timur, dengan pekerja hampir 100 ribu orang.
“Polanya macam-macam. Ada pengusaha industri yang punya lahan, dana dan pasarnya, sehingga developer hanya tinggal bangun. Ini sistemnya bagi hasil. Tapi ada juga yang dikerjakan developer dari mulai cari lahan sampai pembangunan,” papar Eman.
Sebagai langkah awal, REI Banten dan pengusaha pabrik sudah menyiapkan lahan sekitar 2 hektare untuk pembangunan rumah pekerja. Namun diakui, upaya untuk merealisasikan pembangunan rumah pekerja di lokasi dekat pabrik menghadapi banyak kendala di lapangan. Misalnya mengenai kejelasan aturan dari pemerintah daerah apakah membangun perumahan di kawasan industri diperbolehkah atau tidak?
“Ada yang mengatakan tidak boleh, namun ada juga yang bilang boleh. Polemik ini sudah enam bulan terjadi, dan masih simpang siur. Meski akhirnya pemda bilang 30 persen lahan kawasan industri boleh untuk perumahan, tapi pengerjaannya sempat terhambat,” ungkap dia.
Dia berharap persoalan kebijakan seperti ini bisa menjadi koreksi bagi semua pemerintah daerah bahwa kepentingan masyarakat harus dikedepankan, terutama kebutuhan rumah pekerja yang tinggi sekali. Semua pihak, dikatakan harus komitmen mendukung Program Sejuta Rumah, tidak hanya seperti sekarang hanya Kementerian PUPR dan Bank BTN. (Rinaldi/Nrm)