Kenaikan Dana Pungutan Ekspor Sawit Hambat Daya Saing

Persoalan biodiesel menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

oleh Arthur Gideon diperbarui 22 Sep 2016, 21:59 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2016, 21:59 WIB
Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan kembali rencana menaikkan dana pungutan ekspor minyak sawit (CPO). Kenaikan dana pungutan bisa menghambat ekspor dan menurunkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga mengatakan, kenaikan dana pungutan untuk membiayai program mandatori biodiesel 20 persen (B20) tidaklah tepat. Pasalnya kenaikan ini akan membebani ekspor sawit baik hulu maupun hilir.

Semenjak tahun lalu, volume ekspor produk hilir seperti minyak goreng kemasan sudah mengalami penurunan sebesar 15 persen semenjak dana pungutan CPO berlaku. Besaran pungutan mencapai US$ 20 per ton. Kondisi sama dialami ekspor RBD Olein dan RBD Palm Oil merosot 5 persen dalam periode sama.

“Bahkan ekspor biodiesel turun 100 persen atau sama sekali tidak ada ekspor pada tahun ini,” kata Sahat seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (22/9/02016) .

Sahat Sinaga menyebutkan pelaku usaha telah berkorban untuk menanggung subsidi biodiesel yang telah berlaku dalam kurun waktu setahun belakangan. Maka tidaklah tepat beban ini kembali ditambah dengan menaikkan dana pungutan ekspor sawit.

Solusi yang bisa diambil adalah pemerintah mengalokasikan subsidi untuk program mandatori B20. Dengan pertimbangan, biodiesel membantu masyarakat untuk mendapatkan udara sehat lantaran biodiesel yang telah dicampur solar tidak mengandung sulfur.

Selain itu, konsumsi biodiesel sejalan dengan komitmen pemerintah yang berencana menekan emisi karbon dalam Konferensi Perubahan Iklim atau COP ke-21. “Di negara lain, pemerintah yang keluar duit untuk mengurangi emisi,”paparnya.

Opsi lainnya, kata Sahat, masyarakat yang menanggung harga beli biosolar. Menurut Sahat masyarakat juga berperan untuk menjaga kebersihan udara dengan penggunaan biosolar. Termasuk dalam hal ini Pertamina sebagai offtaker biodiesel.

Sahat menegaskan tidaklah benar pemberian subsidi biodiesel hanya menguntungkan pengusaha. “Pandangan ini sangat menyesatkan,” tegasnya.

Menurut Sahat, persoalan biodiesel menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Jangan pengusaha sawit yang dibebankan terus karena pelaku usaha sudah berkorban melalui pungutan ekspor.

Dalam kesempatan terpisah, Dirjen Industri Agro Kemente­rian Perindustrian (Kemenperin), Panggah menjelaskan bahwa apabila pungutannya terlalu tinggi mempersulit ekspor sawit. Pasalnya, kenaikan pungutan bisa kon­traproduktif kepada industri hilir sawit dari aspek daya saing dan meng­hambat ekspor dan menurunkan produksi. (Gdn/Ndw)

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya