Liputan6.com, Malang - Google, namanya langsung booming karena masuk dalam daftar perusahaan asing yang mengemplang pajak di Indonesia. Tunggakan pajak perusahaan internet raksasa asal Amerika Serikat (AS) di Indonesia ditaksir mencapai Rp 5,5 triliun dalam kurun waktu 5 tahun.
Sebenarnya bagaimana cara Google menjalankan praktik penghindaran pajak di seluruh dunia, termasuk Indonesia?
Saat menghadiri Media Gathering Ditjen Pajak, Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam membongkar skema penghindaran pajak yang dilakukan Google. Skema ini masuk dalam perencanaan pemajakan (tax planning) internasional.
"Tax planning ada kecenderungan mendirikan perusahaan di negara-negara dengan tarif pajak rendah dan banyak memberikan fasilitas pajak. Tax planning tidak hanya bisa di satu negara, dan hal ini yang dilakukan Google," ucap dia di Hotel Atria, Malang, Jumat (14/10/2016).
Baca Juga
Darussalam menuturkan, Google berdiri di California, AS pada 1998. Perusahaan ini menjalankan bisnis di Irlandia, lalu ke Belanda, kemudian di Singapura. Datanya menunjukkan, pada 2011, Google di AS mencatatkan penghasilan US$ 38 miliar dengan keuntungan US$ 10 miliar.
Di negara AS, seharusnya Google dipungut tarif pajak 35 persen. Akan tetapi dengan skema tax planning, perusahaan tersebut cukup membayar 2,2 persen saja sehingga Google hemat 32,8 persen. Kasus ini, sambung Darussalam, masih kalah dengan kasus Apple yang hanya membayar 0,05 persen.
"Misalnya dari penghasilan US$ 1 juta, Google cuma bayar US$ 22 ribu, sedangkan Apple hanya membayar 50 perak saja. Jadi tax planning dilakukan orang-orang pintar supaya tidak membayar pajak, menghindari pajak, dan kalaupun bayar pajak, minim," Darussalam menerangkan.
Google, tambahnya, menggunakan skema tax planning yang dinamakan double irish dutch sandwich, yakni memanfaatkan sistem perpajakan negara lain.
Perusahaan ini menjual produk IT (intelektual property) sehingga memiliki nilai sangat tinggi. Produk tersebut didesain dan dikembangkan di AS. Namun jika diedarkan di AS, maka Google akan kena tarif pajak 35 persen.
"Itu sangat memberatkan. Jadi harus mengalihkan produk IT ke luar AS karena kalau tetap di sana pajaknya gede sehingga mereka butuh negara dengan tarif pajak rendah dan memberikan fasilitas pajak," jelas dia.
Akhirnya, kata Darussalam, Google mendirikan perusahaan di Irlandia. Namun efektif manajemennya di negara Bermuda untuk menghindari pajak. Alasannya berdasarkan hukum pajak di Irlandia, penetapan status subjek pajak bagi perusahaan jika efektif manajemennya berada di Irlandia.
Sementara di Bermuda, lanjutnya, perusahaan jadi subjek pajak jika perusahaan tersebut didirikan di Bermuda. Aturan perpajakan di kedua negara inilah yang dimanfaatkan Google.
"Dengan begitu, Google bukan subjek pajak karena mereka tidak punya status pajak di manapun, baik di Irlandia dan Bermuda. Jadi tidak dapat dikenakan pajak," ujar Darussalam.
Darussalam menjelaskan, Google membutuhkan lagi perusahaan agar tidak terkena peraturan Controlled Foreign Company (CFC) AS. Perusahaan ini kembali membentuk perusahaan di Irlandia, Google Irlandia Limited (GIL) untuk mengakali CFC AS.
Tidak berhenti sampai di situ, upaya penghindaran pajak Google terus berlangsung. Google lagi-lagi mendirikan perusahaan di Belanda yang terkenal sebagai treaty haven yang memfasilitasi skema-skema internasional. "Jadi tidak ada pajak jika penghasilannya dialihkan ke Bermuda," kata dia.
Advertisement
Bagaimana Upaya Penghindaran Pajak di Dunia?
Bagaimana upaya penghindaran pajak Google di Indonesia?
Menurut Darussalam, Google mendirikan induk usaha di Singapura untuk menangani bisnisnya di kawasan Asia termasuk Indonesia. Singapura seperti diketahui tersohor sebagai negara surga pajak dengan tarif pajak rendah.
"Tapi jangan sampai Google punya Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara sumber penghasilan, termasuk Indonesia. BUT merupakan satu syarat atau ambang batas negara sumber penghasilan bisa memungut pajak. Tanpa BUT, tax treaty tidak berhak memajaki penghasilannya yang didapat dari iklan secara online," tutur Darussalam.
Kata Darussalam, ada dua cara supaya Google tidak memiliki BUT di Indonesia. Pertama, sambungnya, jangan sampai Google hadir secara fisik di Indonesia (ada kantor) dan hanya menjalankan fungsi penunjang dan pelengkap sehingga tidak dikategorikan terbentuknya BUT.
"Jadi cuma fungsi marketing supporting, sehingga Indonesia tidak bisa menjustifikasi Google BUT di sini," ucap dia.
Cara kedua, jangan sampai terbentuk BUT keagenan. Itu artinya, ia menuturkan, seluruh kontrak yang dilakukan antara Google dengan konsumen di Indonesia berlangsung secara online.
"Kalau konsumen di Indonesia mau mengiklan di Google, maka kontraknya berhubungan langsung dengan Google di Singapura secara online. Jadi tanpa melalui kantor perwakilan atau tenaga marketing di Indonesia," papar dia.
Dengan strategi tersebut, Darussalam menuturkan, Google merasa tidak pernah mengaku ada BUT di Indonesia karena faktanya seluruh kontrak dijalankan tanpa melalui kantor perwakilan di negara ini.
"Kalaupun Google lagi apes ada BUT di negara sumber penghasilan, paling implikasi kecil karena hanya menjalankan fungsi marketing support. Ganjarannya cost plus komisi, cost diganti dan yang kena cuma komisinya yaitu 8 persen dari total penghasilan Google," Darussalam memaparkan. (Fik/Ahm)
Advertisement