Liputan6.com, Jakarta Bank sentral Amerika Serikat (AS) (The Federal Reserve/The Fed) mempertahankan suku bunga di kisaran 0,25 persen-0,5 persen. Pemerintah menilai bahwa keputusan tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi AS
yang belum pulih.
"Kalau tidak dinaikkan, berarti AS tidak siap. Ekonominya tidak cukup baik. Mereka akan naikkan, jika ekonominya baik," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution di kantornya, Jakarta, Kami(3/11/2016).
Lebih jauh Darmin menuturkan, The Fed akan menyesuaikan suku bunga acuannya apabila tingkat pengangguran menurun dan inflasi cukup tinggi sekitar 2 persen. Saat ini, inflasi di AS masih tergolong rendah karena minimnya permintaan. "Kalaupun AS naikkan suku bunga, paling hanya 0,25 persen," tutur Darmin.
Baca Juga
Meski gagal lagi menaikkan tingkat bunganya, Darmin memastikan bahwa kondisi tersebut tidak akan menimbulkan gejolak pada perekonomian nasional akibat ketidakpastian kebijakan The Fed.
Ia berpendapat, Indonesia sangat sensitif terhadap situasi ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed selama 10 bulan lalu. Namun ketika Bank Sentral mengeksekusi kebijakan tersebut, dampaknya tidak besar bagi Indonesia.
"Kenapa jadi pusing, kita sudah jalani (ketidakpastian) selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, tidak apa kok. Kalau dianggap itu akan mengganggu kita, ya tidak karena itu sudah jadi isu dunia, orang bertanya kapan naik, kita malah sudah turun banyak," Darmin menerangkan.
Dia memperkirakan, hingga akhir tahun ini, inflasi akan berada di bawah 3 persen. Dengan demikian, ada ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali menurunkan suku bunga acuannya.
"Inflasi tahun ini diperkirakan di bawah 3 persen atau hanya 2,5 persen. Itu artinya apa? ada peluang untuk menurunkan (suku bunga acuan BI) lebih lanjut (pelonggaran terbuka)," pungkas Mantan Gubernur BI itu.