‎Sri Mulyani ‎Minta Bantuan TNI Ambil Alih Gedung Kemenkeu

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memiliki kenangan memperjuangkan mengambilalih aset negara dari preman.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 30 Nov 2016, 11:55 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2016, 11:55 WIB

Liputan6.com, Jakarta Setiap menteri keuangan memiliki kenangan sendiri dalam masa jabatannya. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati memiliki kenangan memperjuangkan mengambilalih aset negara dari preman-preman untuk membangun gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dirinya sampai harus meminta bantuan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi untuk membersihkan preman tersebut.

Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

"Komplek ini (Kemenkeu) awalnya masih banyak preman. Untuk membersihkan dan mendapatkan gedung ini dari preman, kami minta bantuan Panglima Kodam Siliwangi sehingga aset bisa diambilalih dan dibangun," ucapnya.

Cerita menarik lainnya, kata Sri Mulyani, gedung Istana Negara yang didiami Presiden, kala itu belum memiliki sertifikat. "Jadi bisa saja cucunya Daendels datang, lalu mengklaim. Bahaya itu dan itu riil," tutur Sri Mulyani.

Menurutnya, kondisi tersebut memberi pelajaran bahwa pemerintah harus menata hal-hal dasar yang belum terbangun untuk dibangun. "Buahnya, kata-kata governance jadi terbiasa. Aset itu harusnya ditertibkan, dibekukan secara legal dan semua tercatat. Ini sesuatu sejarah untuk Republik Indonesia," jelas Sri Mulyani.

Lain halnya dengan Boediono, Sosok yang juga pernah menjadi wakil presiden ini menceritakan betapa menantangnya pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terkena imbas krisis moneter 1997-1998. Dia harus mengembalikan APBN lebih sehat, meyakinkan pelaku investor atas utang-utang yang menggunung sampai melakukan reformasi pajak.

Boediono mengaku, pertengahan 1960, APBN Indonesia mengalami lepas kendali, sehingga jangan sampai APBN menjadi penyebab krisis. Prinsip ini ditanamkan hingga saat ini.

"Makanya untuk mencegah krisis, ada rambu-rambunya. Di era Soeharto, konsepnya anggaran berimbang supaya menghindari APBN lepas kendali karena godaan APBN besar sekali, kancah tarik menarik kekuatan politik yang besar sekali. Jadi Menkeu harus tahan banting," jelasnya.

‎Lebih jauh dikatakan Boediono, dalam menjalankan konsep anggaran belanja berimbang, pengeluaran tidak boleh lebih dari penerimaan. Saat ini, standarnya sudah skala internasional, ada penerimaan, belanja, dan defisit. Sementara dibuat rambu Undang-undang Keuangan Negara, di mana defisit fiskal tidak boleh melebihi 3 persen termasuk rambu rasio utang maksimal 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Konsep defisit anggaran dan rasio utang dalam UU ini dijiplak dari Eropa, karena waktu itu kita tidak punya perhitungan anggaran ‎yang pas. Tapi itu bagus supaya utang tidak menjadi penyebab timbulnya gejolak," dia menerangkan.

Boediono memaparkan, saat dilanda badai krisis 1997-1998, ‎Indonesia mengalami komplikasi politik dan ekonomi sehingga masalahnya sangat besar. Sementara negara lain, tidak ada masalah politik. Dalam situasi krisis moneter ini, sambungnya, PDB Indonesia tergerus sepertujuhnya, dan diikuti dampak lain seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan merembet ke gerakan politik.

"Parahnya lagi ada elnino atau kemarau berkepanjangan sehingga produksi pangan anjlok, harga beras naik tiga kali lipat dalam setahun. Kalau harga beras naik tinggi, semua goyang sehingga krisis yang mula-mula ekonomi bisa menjadi krisis sosial akibat masalah harga beras," terangnya. (Fik/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya