Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) menegaskan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tidak perlu direvisi, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait pengujian UU tersebut terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi mengatakan, Kementerian ESDM menghormati putusan MK. Namun, Kementerian ESDM memastikan tidak ada revisi UU. Jika pelaksanaan UU ada yang tidak sesuai dengan putusan dari MK tersebut maka Kementerian ESDM akan melakukan penyesuaian.
"Keputusan harus dihormati. Kalau ada yang tidak seusai akan kami sesuaikan,"kata Hufron, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (15/12/2016).
Advertisement
Putusan MK dengan Perkara Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 tesebut, masih sejalan dengan pelaksanaan UU Ketenagalistrikan, karena peran negara berupa kontrol pemerintah masih hadir meski pembangunan infrastruktur dilakukan pihak swasta. "Tidak sampai membatalkan UU, sepanjang pasal tidak dimaknai negara tidak sampai di sana," ucap Hufron.
Baca Juga
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Sujatmiko menyebutkan, bukti masih adanya kontrol pemerintah terdapat pada penetapan tarif konsumen, peraturan di bidang ketenagalistrikan dan wewenang dalam penetapan wilayah usaha.
"Ini Peraturan Pemerintah kita, sudah dilandasi dengan semangat kehadiran negara dengan keadilan yang merata," tutup Sujatmiko.
Untuk diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang diajukan Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Seperti yang dikutip dari situs resmi MK, di Jakarta, Kamis (15/12/2016), pasal yang digugat oleh Serikat Pekerja PLN adalah pasal 10 ayat (2) UU Ketenagalistrikan yang menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan menyatakan, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik.
Putusan MK terhadap pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Ketenagalistrikan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, secara bersayarat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang ketenagalistrikan tersebut menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip dikuasai negara.
Putusan terkait dengan pasal 11 ayat 1 Undang-Undang ketenaga listrikan bertentangan dengan UUD 1945, secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila rumusan dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang ketenaga listrikan tersebut dimaknai hilangnya prinsip dikuasai oleh negara.
Pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 diajukan karena merasa ketentuan UU Ketenagalistrikan mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Hal ini dinilai mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Ketentuan terkait dengan pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara unbundling, dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat, memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap regional atau wilayah usaha dan membuka selebar-lebarnya peran korporasi swasta nasional, multinasional maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik.
Hal tersebut menurut pemohon, merupakan pengulangan dari ketentuan dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh MK dengan Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003. Ketentuan UU Ketenagalistrikan dapat menyebabkan tarif tenaga listrik akan mahal dan PT PLN sebagai salah satu pemegang izin usaha ketenagalistrikan statusnya tidak lagi sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan untuk pelayanan umum, tapi untuk komersial. (Pew/Gdn)