Pembukaan Data Wajib Pajak yang Sembunyikan Harta Terlambat

Direktorat Jenderal Pajak baru membuka data tersebut menjelang akhir program Tax Amnesty periode II.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Des 2016, 13:46 WIB
Diterbitkan 26 Des 2016, 13:46 WIB
Tax amnesty
Sebuah banner terpasang di depan pintu masuk kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Minggu (25/9). Mendekati hari akhir periode pertama, Kantor Pajak membuka pendaftaran pada akhir pekan khusus melayani calon peserta tax amnesty. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebarkan surat elektronik (email) imbauan ke 204.125 Wajib Pajak (WP) dinilai sangat terlambat. Alasannya, Unit Eselon I Kementerian Keuangan ini baru membuka data tersebut menjelang akhir program Tax Amnesty periode II.

Pengamat Perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menyatakan, langkah DJP mengimbau ratusan ribu WP untuk ikut program pengampunan pajak atau tax amnesty atas harta yang belum dilaporkan seharusnya bisa dilaksanakan sejak awal program berjalan.

"Saya kira DJP melakukan segala upaya untuk memastikan tax amnesty berjalan efektif. Tapi masalahnya waktu pelaksanaan mepet, kurang perencanaan, seharusnya kan bisa dirancang lebih awal," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (26/12/2016).

Asal tahu saja, berdasarkan data DJP, WP yang sudah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) sebanyak 204.125 WP . Data harta yang dilaporkan di SPT tersebut baru 212.270 item harta. Disandingkan dengan data pihak ketiga sebanyak 2.007.390 item. Inilah data yang miliki DJP.

Upaya tersebut baru dijalankan DJP menjelang berakhirnya periode II. Jika melihat realisasi uang tebusan di periode Oktober-20 Desember, nilainya sangat rendah hanya Rp 3,65 triliun. WP peserta tax amnesty di periode II (Oktober-20 Desember) mencapai Rp 118.957 yang melaporkan 124.074 SPH.

Komposisi harta berdasarkan SPH di periode II hingga 20 Desember Rp 375,97 triliun. Deklarasi dalam negeri Rp 302,43 triliun, deklarasi luar negeri Rp 62,83 triliun, dan repatriasi Rp 10,7 triliun.

"Ini kan harusnya sejak awal dibuka, apalagi zaman Pak Bambang (Menteri Keuangan sebelumnya) sudah dibilang ada ribuan triliun nilai data yang akurat," tegas Prastowo.

"Kabarnya juga ada beberapa data di surat itupun tidak akurat atau valid sehingga menambah cost of compliance (WP) dan cost of administration (DJP)," lanjutnya.

Prastowo pesimistis, DJP mampu mencapai hasil maksimal dari upaya imbauan atas harta yang belum seluruhnya dilaporkan WP di periode II. Jalan satu-satunya, disarankan dia, supaya DJP menggenjotnya di periode III (Januari-Maret 2017) untuk memperoleh nilai deklarasi, repatriasi, maupun uang tebusan dari tax amnesty.

"Saya kira berat mendapat penerimaan yang maksimal di periode II walaupun dengan usaha itu karena mepet. Mungkin akan ditingkatkan di periode III saja," tutur dia.

Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Ronni Bako mendukung langkah DJP mengirimkan email cinta kepada ratusan ribu WP yang teridentifikasi menyembunyikan hartanya.

"Tax amnesty memang hak, tapi jangan salahkan DJP bila menggunakan data itu untuk memungut pajak WP. Kalau ada data di luar negeri bisa saja DJP ke sana, tapi kan domisili orang Indonesia di luar negeri sulit dilacak," terangnya. (Fik/Gdn)

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya