Utang Pemerintah RI Naik Jadi Rp 3.466 Triliun di Akhir 2016

Utang pemerintah pusat sampai dengan Desember 2016 sebesar Rp 3.466,96 triliun berasal dari pinjaman sebesar Rp 733,13 triliun.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Jan 2017, 20:15 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2017, 20:15 WIB
Tingkat Utang RI Paling Rendah di Asia
Dari hasil riset HSBC menyebutkan, Singapura menjadi negara dengan tingkat utang tertinggi, yaitu mencapai 450 persen terhadap PDB.

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan total nilai utang pemerintah pusat sampai dengan posisi Desember 2016 mencapai Rp 3.466,96 triliun.

Realisasi utang ini melonjak Rp 301,83 triliun dibanding periode 2015 sebesar Rp 3.165,13 triliun.

Dari data DJPPR, Jakarta, seperti dikutip Jumat (27/1/2017), dalam denominasi dolar AS, total ‎nilai utang pemerintah pusat yang sebesar Rp 3.466,96 triliun di periode Desember 2016 menjadi US$ 258,04 miliar dibanding pencapaian tahun sebelumnya US$ 229,44 miliar.

Jika melihat nilai utang hingga akhir tahun lalu, jumlahnya mengalami peningkatan dibanding lima tahun terakhir. Di periode 2011, utang pemerintah baru mencapai Rp 1.808,95 triliun, lalu naik menjadi Rp 1.977,71 triliun di 2012.

Angkanya kembali meningkat di periode 2013 menjadi Rp 2.375,50 triliun. Kemudian melonjak lagi masing-masing menjadi Rp 2.608,78 triliun dan Rp 3.165,13 triliun pada 2014 dan 2015.

Data utang pemerintah pusat sampai dengan Desember 2016 sebesar Rp 3.466,96 triliun berasal dari pinjaman sebesar Rp 733,13 triliun atau US$ 54,56 miliar. Sementara realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 2.733,83 triliun atau setara US$ 203,47 miliar.

Pencapaian nilai pinjaman tersebut turun sebesar Rp 21,99 triliun dari realisasi 2015 yang sebesar Rp 755,12 triliun. Sedangkan nilai SBN di akhir tahun lalu melonjak Rp 323,82 triliun dari penerbitan SBN 2015 sebesar Rp 2.410,01 triliun.

Data DJPPR menyebutkan, pinjaman senilai Rp 733,13 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 728,08 triliun. Ini terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 313,42 triliun, multilateral Rp 365,47 triliun, komersial bank Rp 45,08 triliun dan suppliers Rp 0,10 triliun. Adapun pinjaman dalam negeri tercatat sebesar Rp 5,05 triliun.

Utang pemerintah pusat yang bersumber dari penerbitan SBN senilai Rp 2.733,83 triliun, terdiri dari utang dalam denominasi valuta asing Rp 719,80 triliun dan Rp 2.014,03 triliun dari SBN dengan denominasi rupiah.

Nilai utang hingga Desember 2016 yang tercatat Rp 3.466,96 triliun setara dengan rasio 27,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp 12.627 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menjelaskan bahwa utang negara dapat dikelola dan digunakan secara produktif. "Utang untuk apa dan hasilnya jadi atau tidak. Kalau jadi, hasilnya bisa untuk bayar utang," ucap dia dikutip dari laman resmi Kemenkeu, belum lama ini.

"Saya senang tidak utang. Tapi untuk kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak mau utang, berarti penerimaan harus naik atau anggaran belanja diturunkan," kata Sri Mulyani.

Atas dasar itu, Sri Mulyani mengajak masyarakat untuk berpikir logis. "Tidak bisa bilang, 'bu saya mau uang sekolah gratis, naik angkot bensinnya di subsidi, tapi ibu tidak utang', kalau begitu tidak akan ada Menkeu tapi Kanjeng Dimas," tandas dia.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Schneider Siahaan mengatakan, utang tersebut digunakan untuk mewujudkan tujuan Indonesia, yakni mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

"Misalnya kalau beli aset disewain, lalu bisa bayar utang, kan tenang-tenang saja. Sisanya bisa dipakai untuk belanja," ujarnya.

Dia menegaskan, utang ini digunakan untuk sesuatu yang produktif. Utang merupakan instrumen demi mencapai tujuan Indonesia dalam bernegara.

"Jadi utang tidak perlu ditakutkan. Itu untuk instrumen mencapai tujuan kita mencapai masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera," tegas Schneider.

"Kita lebih senang mana punya utang yang bisa dibayar dan utang bisa menghasilkan penghasilan yang layak, daripada kita tidak punya utang tapi hidup pas-pasan. Jadi asal utang produktif, bisa bayar utang, kan tenang-tenang saja," jelasnya.(Fik/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya