LRT Palembang Bakal Jadi Proyek Pertama yang Beroperasi di RI

Pekerjaan konstruksi LRT Palembang diharapkan tuntas pada Juni 2018.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 05 Feb 2017, 12:36 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2017, 12:36 WIB
20170108-LRT-HA1
Lintasan kereta layang atau LRT yang sedang dalam tahap pembangunan di Km 13 tol Jagorawi, Jakarta, Minggu (8/1). Proyek LRT tahap 1 Cibubur-Cawang baru selesai 15 persen. (Liputan6.com/Helmi Affandi)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah pusat dan daerah tengah berlomba-lomba membangun infrastruktur guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satunya proyek kereta api ringan (Light Rail Trans/LRT) di Jabodetabek dan Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).

Pengamat Transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata mengatakan, proyek LRT di Palembang untuk kebutuhan ASIAN Games ke-18 diperkirakan akan pertama kali beroperasi di Indonesia, mendahului dua proyek LRT lainnya, LRT Jabodetabek dan LRT dalam kota Jakarta.

"Pembangunan LRT Sumsel merupakan kereta ringan pertama yang bakal
beroperasi di Indonesia," kata Djoko dalam keterangan resminya yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Minggu (5/2/2017).

Dia mengatakan, pekerjaan konstruksi LRT Palembang diharapkan tuntas pada Juni 2018. Dengan begitu, kereta api ringan yang menghubungkan rute Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II-Kompleks Olahraga Jakabaring ini siap beroperasi menghadapi pesta olahraga terbesar se-Asia 2018.

"Kemudian disusul LRT Jakarta (dalam kota) yang akan selesai pada 2018 untuk ASIAN Games, dan LRT Jabodetabek yang ditargetkan beroperasi di 2019," dia menjelaskan.

Sebagaimana diketahui, LRT dalam kota Jakarta untuk mendukung ASIAN Games 2018 dibangun dari ruas Velodrome Rawamangun-Kelapa Gading, sepanjang 6 Km. Sementara LRT Jabodetabek membentang sepanjang 14,5 Km rute Cawang-Cibubur.

Djoko menyoroti kemajuan pembangunan LRT Sumsel yang cukup agresif. Proyek yang digarap PT Waskita Karya Tbk itu dibangun sejak Oktober 2015. Progres konstruksi saat ini mencapai 30 persen meskipun pembangunannya mengganggu lalu lintas harian.

Terlebih saat pekerjaan pondasi. Beberapa pekerjaan pondasi dilaksanakan malam hari agar mengurangi gangguan lalu lintas kendaraan. Sebab, jalur LRT ini dibangun di atas jalan eksisting yang cukup padat lalu lintasnya.

"LRT Palembang cukup unik. Nantinya akan melayani penumpang bandara dan penumpang perkotaan. LRT ini merupakan transportasi wilayah aglomerasi karena melayani warga Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin," jelas Djoko.

Proyek ini dibangun sepanjang 23,4 kilometer (Km) dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II, Palembang hingga kawasan Ogan Permata Indah, Kabupaten Banyuasin. Melintas di atas Sungai Musi, ada bentangan jembatan sepanjang 445 meter bersisian dengan Jembatan Ampera.

Sepanjang jalur terdapat 13 stasiun dan satu depo berkapasitas 14 train set. Tipe proyek adalah design and built melalui penugasan kepada kontraktor pelaksana Waskita Karya, dengan dasar hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 116 dan Perpres. Nomor 55 Tahun 2016.

Djoko menjelaskan, lebar jalan rel (gauge) 1.067 mm dengan axle load 12
ton. Kecepatan direncanakan 100 km per jam. Kecepatan maksimum 85 km
per jam. Konstruksi jalur berupa elevated (slab track). Persinyalan adalah fixed block dengan cap signal (ETCS Level 1). Sistem electrical dengan third rail system 750 VDC.

Setelah dibangun, selanjutnya pengoperasian sarana  akan diselenggarakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) berdasarkan Perpres Nomor 116 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 55 Tahun 2016. Mulai pengadaan, pengusahaan, pengoperasian dan pemeliharaan sarana.

Setiap train set terdiri tiga cars (kereta) dengan kapasitas maksimum 445 orang. Lama berhenti di stasiun satu menit kecuali di stasiun Bandara Sultan Mahmud Badarudin dan stasiun OPI selama 10 menit.

Pembuatan sarana dilakukan PT INKA di Madiun. Sarana yg disiapkan sebanyak delapan train set yang dibagi enam train set untuk operasi dan dua train set untuk perawatan dan cadangan.

"Biaya pembangunannya sebesar Rp 12 triliun. Memang cukup mahal karena
untuk setiap kilometer kisaran Rp 500 miliar. Bandingkan dengan membangun jalur rel di atas permukaan (at grade) sekitar Rp 30 miliar, tapi masih ada ongkos pembebasan lahan. Sedangkan jalan rel layang sedikit proses pembebasan lahan, hanya untuk depo yang butuh lahan khusus," Djoko menandaskan. (Fik/Nrm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya