Freeport: Kami Siap ke Arbitrase

Freeport Indonesia memilih untuk menempuh jalur arbitrase jika negosiasi dengan pemerintah tidak menemukan titik temu.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Feb 2017, 12:49 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 12:49 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - PT Freeport Indonesia memilih untuk menempuh jalur arbitrase jika negosiasi dengan pemerintah tidak menemukan titik temu. Freeport Indonesia tidak ingin melepas status Kontrak Karya (KK) dan mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan Richard C. Adkerson mengatakan, saat ini Freeport sedang melakukan negosiasi dengan Pemerintah Indonesia tekait perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan segala hal yang diatur didalamnya. "Kami tetap ingin bekerjasama dengan pemerintah. Kami juga berkomitmen untuk berunding dengan pemerintah," kata Adkerson, di Jakarta, Kamis (20/2/2017).

Ia melanjutkan, pemerintah telah menerbitkan reko‎mendasi izin ekspor konsentrat kepada Freeport Indonesia. Namun perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut tidak menerima keputusan tersebut. Alasannya, Freeport masih ini bernegosiasi dalam perubahan status yang dijadikan syarat pemerintah agar Freeport bisa mengekspor konsentrat.

"Posisi kami tidak menerima izin yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan melepas status dari Kontrak Karya," tutur Adkerson.

Freeport telah melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Surat  tersebut berisi pandangan perusahaan mengenai berstatus KK dengan IUPK. ‎Selain itu, surat tersebut juga berisi tanggapan dari Freeport mengenai keputusan pemerintah memberikan izin ekspor konsentrat.

"Kami mengirim surat kepada Menteri ESDM yang mana surat itu menunjukan perbedaan KK dengan IPK. Di situ ada waktu 120 hari dimana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan-perbedaan. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan, dengan begitu Freport bisa melaksanakan haknya menyelesaikan perbedaan tersebut memulai proses untuk melakukan arbitrase," tutup Adkerson.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan bahwa Freeport Indonesia menolak untuk mengubah perjanjian dari KK menjadi IUPK. Pemerintah memberikan hak yang sama di dalam IUPK dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan. "Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku," tuturnya.

Dikatakan Jonan, PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor pada 17 Februari 2017. "Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut," tuturnya.

"Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi," lanjut dia.

Jonan juga berharap, PTFI tetap sepakat dengan adanya ketentuan divestasi 51 persen yang tercantum dalamm perjanjian KK yang pertama antara pemerintah dengan PTFI, yang juga tercantum dalam PP No 1/2017.

Meski menurut Jonan ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah.

"Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya," tambahnya.

Jonan juga menanggapi rencana PTFI yang akan membawa persoalan ini ke arbitrase, Jonan menyebut itu adalah hak siapapun, meski pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.

"Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah," tambah Jonan.

Saham Freeport McMoran Turun

Pada perdagangan saham Jumat 17 Februari 2017, saham Freeport McMoran Inc turun 1,06 persen ke posisi US$ 14,91. Saham Freeport tertekan usai menyatakan force majeure.

Freeport McMoran Inc menyatakan force majeure atau kejadian tidak dapat dihindarkan sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya pada Jumat 17 Februari 2017. Hal itu membuat Freeport McMoran belum dapat memenuhi kewajiban kontrak atau mengirimkan konsentrat tembaga dari tambang Grasberg Indonesia kepada mitranya.

Selain Freeport, BHP Billiton's Escondia di Chili, tambang tembaga terbesar di dunia juga menyatakan force majeure pada 10 Februari. Ini lantaran pemogokan selama dua hari menghentiken produksi.

"Kedua tambang itu off. Itu berarti sekitar 2 juta ton, atau hampir 10 persen dari pasokan tembaga dunia. Ini merupakan masalah besar," ujar Analis Jefferies, Chris LaFemina seperti dikutip dari laman Reuters.

Ia menuturkan, tambang Grasberg diharapkan dapat menghasilkan 800 ribu ton tembaga pada 2017. Atau sekitar 3,5 persen dari pasokan global. (Pew/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya