Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mensosialisasikan muatan Undang-undang (UU) No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang baru terbit menggantikan UU Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999.
UU yang baru ini menjadi dasar bagi sektor jasa konstruksi nasional semakin profesional dan berdaya saing di tengah kompetisi global. Selain itu juga megatur standar upah minimum untuk tenaga konstruksi.
Baca Juga
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengingatkan akan pentingnya sertifikasi sebagai upaya peningkatan kompetensi para pelaku jasa konstruksi.
Advertisement
Menurutnya sertifikasi tenaga kerja konstruksi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk tetap dapat memiliki daya saing tinggi dalam persaingan global yang ketat.
“Sekarang semua tenaga kerja konstruksi harus bersertifikat dan siap berkompetisi menghadapi persaingan global, salah satunya adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN),” ujar Menteri Basuki dalam keterangannya, Jumat (10/3/2017)m
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Yusid Toyib menyatakan, sertifikasi akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya upah yang diterima (billing rate) pekerja konstruksi.
Saat ini Kementerian PUPR tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen) untuk penetapan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi sesuai amanat UU Jasa Konstruksi.
“Besarannya remunerasi nanti tergantung dari pendidikan, pengalaman, serta sertifikat yang dimiliki,” ujar Yusid.
Dengan adanya standar remunerasi, minimal hal ini akan meningkatkan kesejahteraan dan daya saing para pekerja konstruksi di Indonesia, “Saya yakin kemampuan pekerja konstruksi dalam negeri tidak kalah dengan pekerja konstruksi asing. Jadi saya harap nantinya tidak ada perbedaan upah yang mencolok antara pekerja lokal dan asing,” kata Yusid.
Untuk itu, Yusid menyatakan dirinya optimis untuk terus menyelesaikan target sertifikasi 750.000 pekerja konstruksi Indonesia sampai akhir tahun 2019. (Yas)