Ini Sebab Produk Tekstil RI Kalah dari Vietnam dan Bangladesh

Ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya sebesar US$ 11,9 miliar.

oleh Septian Deny diperbarui 12 Apr 2017, 15:40 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2017, 15:40 WIB
20160830- Industri Tekstil Nasional-Tangerang- Angga Yuniar
Kementerian Perindustrian optimistis kinerja industri tekstil dan produk tekstil nasional akan gemilang seiring pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini yang berpotensi terus membaik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam bahkan Bangladesh. Buktinya, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya sebesar US$ 11,9 miliar, sedangkan Vietnam sudah tembus US$ 30 miliar.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, ada empat hal yang membuat TPT Indonesia sulit bersaing dengan TPT asal Vietnam dan Bangladesh. Pertama, terkait soal energi dengan tarif listrik industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan kedua negara tersebut.

‎"Dari segi makro perbaikan ini perlu energi. Karena energi di Indonesia termahal baik dibandingkan Vietnam maupun Bangladesh. Di Indonesia tarif listrik itu US$ 12 sen pe kWh, Vietnam US$ 7 sen, Bangladesh US$ 5 sen per kWh. India hampir sama dengan kita tapi man power dan pelayanan publik lebih kuat," ujar dia di Kantor API, Jakarta, Rabu (12/4/2017).

Kedua, sistem dan biaya logistik Indonesia yang tidak efisien. Ini lantaran tidak ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang memadai.

"Faktor lain menurunnya logistik. Karena tiap tahun penduduk bertambah, kendaraan bertambah dengan jalan yang tidak bertambah sehingga produk logistiknya menurun. Kalau dari Bandung-Jakarta 3 kali angkut per hari, sekarang 1 kali saja berat. Moda transportasi pakai kereta api juga ada keterbatasan, karena harus full container load, nggak bisa less than container load (LCL)," jelas dia.

Ketiga, soal birokrasi dan perizinan di Indonesia yang tidak berpihak pada sektor industri. Sebut saja masalah waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time), izin impor bahan baku dan lain-lain.

"Ketiga yang namanya persaingan global, untuk menangkan itu perlu efisiensi di segala bidang, kita sudah tidak efisiensi mesin, manageman, energi. Tapi listrik ada di bumn dan logistik ada di pemerintah. Dwelling time, karantina, prosedur ekspor impor bahan baku kita masih lama‎," kata dia.

Keempat, masalah perjanjian perdagangan Indonesia dengan negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Saat ini tekstil dan produk tekstil Indonesia dikenakan bea masuk sebesar 10 persen-17 persen. Sementara produk TPT Vietnam dan Bangladesh tidak kenakan bea masuk alias 0 persen.

"Di sini kecepatan menjadi hal utama untuk menangkan persaingan, Indonesi ‎letaknya paling jauh dari pasar AS, Uni Eropa, Jepang, Korea, China, paling dekat Australia, tapi penduduk hanya 15 juta.‎ Ke Uni Eropa dan AS kena 10 persen-17 persen bea masuk, Vietnam dan Bangladesh 0 persen. Kita (Indonesia) dianggap negara maju dengan income US$ 3.800. Karena Indonesia masuk ke G20 jadi dianggap negara maju," ujar dia.

 

 

[vidio:]()

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya