Liputan6.com, Jakarta Harga minyak tergelincir hampir 1 persen memperpanjang penurunannya pada pekan lalu. Kondisi ini dipicu belum adanya kabar kelanjutan jika OPEC akan memperpanjang pemotongan produksinya sampai akhir 2017.
Rusia menunjukkan hal itu dapat mengangkat output jika kesepakatan mengenai pengurangan tak lagi ada.
Melansir laman Reuters, Selasa (25/4/2017), kontrak minyak mentah berjangka Brent mengakhiri sesi dengan susut 36 sen menjadi US$ 51,60 per barel setelah mencapai level tertinggi di US$ 52,57 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun 39 sen menjadi US$ 49,23 per barel, setelah mencapai level tinggi US$ 50,22 per barel pada hari sebelumnya.
Produksi minyak Rusia bisa naik ke tingkat tertinggi dalam 30 tahun jika Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan produsen non-OPEC tidak memperpanjang kesepakatan pengurangan pasokan selama enam bulan usai 30 Juni, menurut pejabat Rusia.
"Kami pikir sebuah perpanjangan sangat mungkin terjadi, dengan konsensus OPEC yang terus meningkat untuk mendukung kebijakan tersebut, namun pasar tampaknya mengaitkan penurunan pekan lalu dengan tidak adanya kesepakatan yang kuat," kata Ahli Energi Berjangka Citi Futures, Tim Evans, dalam catatannya.
Menurut dia, penurunan itu lebih berkaitan dengan koreksi berlebihnya optimisme sebelumnya dan sikap spekulatif, dibandingkan dengan pergeseran skenario mendasar lainnya.
Pekan lalu, sebagian harga minyak anjlok sekitar 7 persen karena adanya tanda-tanda kenaikan produksi di AS mempengaruhi upaya OPEC dan produsen lainnya mengurangi produksi hampir 1,8 juta barel per hari (bpd) pada paruh pertama tahun ini.
Pedagang dan pialang juga mencatat bahwa pasar minyak mentah melemah meski terjadi reli selama pemilihan Prancis, dengan dolar AS yang lebih rendah. Hal ini dikatakan mencerminkan sentimen pasar yang bearish.
Â
Â