Liputan6.com, Jakarta - Persatuan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) mengungkapkan penyebab harga daging sapi segar lokal masih tinggi di pasar sebesar Rp 120 ribu per kilogram (kg). Harga tersebut jauh dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah Rp 80 ribu setiap kg.
Ketua Umum Perhepi Bayu Krisnamurthi mengungkapkan, kebutuhan daging sapi untuk industri sosis, bakso, nugget mencapai 40 persen. Hotel, restoran, dan katering 40 persen. Untuk permintaan rumah tangga atas daging sapi mencapai 20 persen dari total kebutuhan nasional.
"Kalau untuk industri biasanya menggunakan protein daging untuk bikin nugget. Sedangkan kalangan rumah tangga, ibu-ibu pada gelisah kalau tidak ada opor atau rendang saat Lebaran, jadi harga daging berapapun dibeli," jelas dia di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Selasa (23/5/2017).
Advertisement
Lebih jauh diakui Bayu, harga daging sapi betah bertengger Rp 120 ribu per kg karena tidak seluruh bagian tubuh sapi laku dijual. Oleh karenanya, pedagang biasanya membebankan ke bagian-bagian yang laku terjual, salah satunya daging.
Baca Juga
"Sapi kan ada kulit, gajih, buntut, tulang, dan lainnya. Kalau dia tidak laku, harga bagian yang tidak laku masuk ke daging karena biaya produksi sapi kan utuh," ucap Mantan Wakil Menteri Perdagangan ini.
Salah satu strategi pengendalian harga daging sapi, Bayu menyarankan pedagang atau peternak untuk membuat seluruh bagian dari sapi laku atau bermanfaat, termasuk darah dan tulangnya. Sebab kedua bagian tubuh sapi ini memiliki nilai dan bisa mendulang pendapatan bagi peternak.
"Misalnya darah bisa diolah buat pakan ikan, sedangkan tulang bisa dijadikan kerajinan atau dibubukan jadi tepung ikan. Jadi harga daging tidak harus menanggung beban dari bagian yang tidak laku tadi. jangan hanya berpikir menyelesaikan daging sapi dengan hanya daging sapi," papar dia.
Menurut Bayu, kebijakan impor daging sapi merupakan kebijakan jangka pendek. Jika terjadi kekurangan, harga daging sapi diyakininya akan melonjak karena terjadi ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.
"Kita harus melihat secara keseluruhan, bagaimana pola permintaan dan pola konsumen terhadap daging. Impor adalah sesuatu yang harus dilakukan pada saat yang tepat, tapi mengembangkan peternakan itu strategi jangka panjang," tuturnya.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan Muhri, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sudah melakukan berbagai upaya dengan dinas di Kabupaten/Kota, salah satunya memastikan stok bahan pokok perkembangan harga dan monitoring di seluruh daerah.
"Pemerintah sudah menetapkan HET untuk tiga komoditas, daging beku Rp 80 ribu per Kg, minyak goreng sebesar Rp 11 ribu, dan gula Rp 12,5 ribu per Kg di tingkat ritel modern. Berlaku sejak 10 April 2017," tegasnya.
Kasan mengaku, gejolak harga terjadi pada daging segar di pasar. Namun saat ini harga-harga di pasar diklaim terpantau stabil menjelang puasa, seperti harga cabai rawit turun.
"Kenaikan harga jelang puasa jangan dianggap biasa. Kita akan berupaya mengendalikannya selama puasa dan lebaran. Konsumsi terhadap daging beku akan mendorong stabilnya harga daging tersebut," tukas dia.Â