Liputan6.com, Jakarta Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RUU APBN-P) 2017 yang dihadiri Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati diwarnai kritikan dari anggota DPR. Para wakil rakyat tersebut mengkritisi berbagai hal terkait defisit fiskal, efisiensi anggaran, sampai kepada paket kebijakan ekonomi pemerintah yang belum berdampak terhadap ekonomi nasional.
Setelah Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Azis Syamsuddin menyampaikan laporan pembahasan RUU APBN-P 2017 yang telah disepakati bersama dengan pemerintah, beberapa anggota dewan menyatakan pandangannya.
Wakil Ketua Komisi V, Michael Wattimena menyoroti tema pemerintah dalam menyusun APBN yang sebagian besar meningkatkan pembangunan infrastruktur. Itu tema di APBN 2015-2017, dan RAPBN 2018 dengan tema memacu investasi dan infrastruktur.
"Yang terjadi saat ini, mulai dari 2015-2017, serta pagu indikatif 2018, semuanya hampir flat bahkan APBN cenderung menurun," kata Michael di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/7/2017).
Politikus dari Fraksi Demokrat ini mempertanyakan kondisi keuangan negara karena APBN trennya cenderung menurun, seperti dari sisi penerimaan negara. "Kami mempertanyakan situasi ini, apa namanya kalau melihat kondisi keuangan negara begini supaya kita mudah menjelaskannya ke masyarakat," jelasnya.
Michael pun mengaku terkejut dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Efsiensi Belanja Barang di Kementerian/Lembaga sebesar Rp 16 triliun di 2017.
"Harusnya kan ada penambahan atau peningkatan anggaran, tapi ini malah sebaliknya. Ironisnya di Komisi V saat rapat dengan Menteri-menteri terkait, penambahan belanja Kementerian dibiayai dari utang luar negeri," terangnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Yandri Susanto menyoroti defisit APBN-P 2017 yang diperkirakan 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jumlah ini disebutnya sudah pada titik lampu kuning.
"Defisit 2,92 persen di APBN-P 2017 sudah lampu kuning buat kita karena amanat UU 3 persen dari PDB. Ini PR kita semua, jangan sampai ini menjadi bencana ekonomi," ujarnya.
Ditambah lagi, kata Yandri, utang pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bertambah Rp 1.000 triliun. "Kenapa tidak kita menyusun APBN dengan jujur tanpa utang," ucapnya.
Anggota Komisi VI, Bambang Haryo pun mempertanyakan efek dari 15 paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis pemerintah. Menurutnya, paket-paket kebijakan ini seharusnya sudah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Tapi hasilnya mana, apalagi paket kebijakan ekonomi jilid 15 di 2017 tentang logistik tidak fokus. Anggaran PMN PT KAI untuk rolling stock rangkaian kereta di Sumatera bahkan direalokasi ke proyek LRT Jabodebek padahal tidak ada kontribusinya," tegasnya.
Baca Juga
Advertisement