Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terus mengeluhkan penurunan daya beli masyarakat yang berdampak terhadap industri. Pemerintah diminta mengambil kebijakan tepat guna memacu pertumbuhan ekonomi yang sehat, sehingga dapat meningkatkan kembali daya beli masyarakat secara merata.
"Daya beli sekarang benar-benar nge-drop. Ini sudah warning banget," tegas Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Pelemahan daya beli tersebut ditunjukkan dengan penurunan penjualan sepeda motor dan mobil, penjualan ritel, dan industri lainnya. Penyebabnya, ada ketidakmerataan distribusi pendapatan karena berbagai hal.
"Melihat tren investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal naik, namun penyerapan tenaga kerja mengecil. Akhirnya distribusi pendapatan tidak merata, dan daya beli drop. Pada kebingungan semua, karena kelas menengah kan tidak beli sepeda motor, beli mie instan, jadi kita perlu menumbuhkan kalangan bawah," jelas dia. Â
Baca Juga
Parahnya lagi, Hariyadi mengungkapkan, peraturan tenaga kerja yang kompleks dan rumit, termasuk masalah pengupahan selama puluhan tahun, mendorong perusahaan saat ini lebih menahan diri untuk merekrut pegawai. Perusahaan-perusahaan sekarang ini memilih pegawai dengan kriteria tertentu.
"Aturan tenaga kerja kita yang rijit selama puluhan tahun, perusahaan tidak mau mengambil karyawan banyak. Rekrut yang sesuai kriteria lulusan SMA misalnya, jadi lulusan SMP ke bawah sebanyak 47 persen tidak mendapat kesempatan kerja dan lagi-lagi distribusi pendapatan tidak merata," ia menerangkan.
Ia berpendapat, peraturan tenaga kerja saat ini pun semakin membuat pengusaha enggan masuk ke industri padat karya. Mereka lebih memilih berbisnis di industri padat modal. "Aturan tenaga kerja yang rijit banget, termasuk soal upah minimum yang naik gila-gilaan setiap tahun jadi mereka maunya investasi ke padat modal," Hariyadi mengatakan.
Sementara di sisi lain, kata dia, pemerintah hanya berutang yang dikatakan digunakan untuk kegiatan produktif, yakni membangun infrastruktur. Sayang hingga kini hasilnya belum terlihat terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat dan berkesinambungan.
"Utang untuk infrastruktur kita setuju, tapi harus hati-hati khususnya dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi. Dunia usaha tetap bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sehat supaya dunia usaha jalan. Jadi kalau dunia usaha mandek, bagaimana mau dapat pajak dan membiayai pembangunan," tutur Hariyadi.
Untuk itu, Hariyadi berpesan agar pemerintah segera mengambil kebijakan tepat guna meningkatkan kembali daya beli masyarakat Indonesia. Salah satunya mengenai aturan ketenagakerjaan yang perlu direlaksasi. "Ambil kebijakan yang tepat, termasuk mengenai aturan ketenagakerjaan, jangan sepotong-sepotong," ujarnya.
Seperti diketahui, data Bappenas menunjukkan, pertumbuhan penjualan ritel riil dari 16‎,3 persen pada Juni 2016, anjlok menjadi 6,7 persen di Juni 2017. Impor barang konsumsi pun menyedihkan, dari pertumbuhan positif sebesar 11,1 persen menjadi negatif 0,8 persen.
Begitupun dengan pertumbuhan penjualan sepeda motor di bulan keenam ini anjlok menjadi negatif 26,9 persen dari sebelumnya di periode sama tahun lalu negatif 9,7 persen‎. Pertumbuhan penjualan mobil dari positif 11,4 persen menjadi negatif 27,5 persen. Sedangkan NTP turun dari 101,5 menjadi 100,5.
Menanggapi data-data itu, Menteri Koordinator Bidang P‎erekonomian, Darmin Nasution menyatakan tren pertumbuhan penjualan selama puasa dan Lebaran cenderung melambat. Bukan hanya di tahun ini, tapi juga tahun-tahun sebelumnya.
"Saya tidak mengatakan tidak benar-benar melesu (daya beli). Tapi data di puasa dan Lebaran memang melambat, seperti tahun lalu di puasa dan Lebaran Juli pun jelek. Tahun ini di Juni juga jelek. Tapi saya tidak mengatakan tidak lesu, kita tunggu saja data konsumsi di kuartal II atau semester I dari BPS," jelasnya.
‎Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa tren belanja masyarakat saat ini sudah berubah dari konvensional ke online. Hal ini menunjukkan bahwa transaksi penjualan tetap ada, sehingga daya beli masih terjaga.
"Konsumsi kita banyak dipengaruhi online. Itu artinya, transaksi tetap jalan. Cuma mungkin data statistik dan pajak tidak bisa mereka itu (transaksi online)," jelas Bambang.‎
"Itu berfluktuasi karena Juni memang turun hari kerja pendek, penjualan turun hampir di semua aspek. Penjual kan libur, bagaimana mau ada transaksi," ujar Darmin.
Pemerintah, kata Bambang, terus mendorong dengan berbagai macam kebijakan untuk mempermudah perizinan dan menjaga konsumsi masyarakat. "Daya beli bukan normal, tapi kita harus tetap menjaga supaya konsumsi tetap kuat," ujar Mantan Menteri Keuangan itu.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati pernah mengaku imbas pelemahan ekonomi selama tiga tahun terakhir (2014-2016) masih terasa hingga kini. Dampaknya menghantam daya beli masyarakat dan merembet ke industri ritel maupun industri lain.
Sri Mulyani menyatakan, realisasi inflasi 2016 sebesar 3,02 persen merupakan pencapaian paling rendah dalam satu dekade. Kondisi ini, menurut dia bermula dari kontraksi atau penurunan di sektor pertambangan, dan kemudian berpengaruh ke sektor lainnya.
"Itu terjadi puncaknya pada kuartal terakhir di 2016. Jadi saya menganggap ini masih menjadi imbas dari pelemahan ekonomi yang terjadi di 2014, 2015, dan 2016 karena faktor komoditas dan ekspor. Imbasnya masih terasa sampai sekarang," ucap Sri Mulyani.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak berpangku tangan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk mengerek daya beli masyarakat dan menggeliatkan kembali industri di Tanah Air, termasuk industri ritel.
Fokus pemerintah, kata Sri Mulyani menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dengan program-program perlindungan sosial, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta keluarga, sehingga 25 persen, bahkan 40 persen masyarakat terbawah tetap terjaga.
"Untuk menaikkan daya beli adalah dengan confidence. Meningkatkan daya beli tentu dengan upah yang meningkat yang mencerminkan produktivitas. Ini tantangan pemerintah," ia menerangkan.
Selain itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia menambahkan, pemerintah fokus meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia mengingat faktor ini yang paling dibutuhkan untuk mengerek produktivitas.
"Upaya lainnya, reformasi kebijakan yang akan terus dilakukan di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk memperbaiki investasi karena itu akan meningkatkan inovasi dan kreativitas," papar Sri Mulyani.
Advertisement
Â
Tonton Video Menarik Berikut Ini: