Pemerintah Diminta Tegas terhadap Freeport

Pemerintah harus bisa tegas terutama terkait dengan smelter dan kepastian pemasukan dari sektor tambang.

oleh Nurmayanti diperbarui 24 Agu 2017, 14:40 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2017, 14:40 WIB
PT Freeport Indonesia
5 Kejadian Tragis yang Dialami Karyawan PT Freeport Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta tegas terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mengikuti aturan di Indonesia. Perusahaan asal Amerika Serikat ini dinilai hanya mementingkan kepentingan perusahaan dibandingkan kepentingan sebagai pemilik kekayaan alam di Freeport, Papua.

“Freeport harus mengikuti aturan di Indonesia. Peraturan Pemerintah tegas menyatakan bahwa divestasi 51 persen merupakan bagian dari syarat perpanjangan kontrak. Pemerintah jangan sampai melanggar aturan yang telah dibuatnya sendiri,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, Kamis (24/8/2017).

Dia khawatir jika selama ini Freeport hanya berupaya melindungi harga sahamnya di Bursa New York. Sebab itu perusahaan kukuh menyatakan belum menyepakati perihal divestasi dengan Indonesia. Sebab bila divestasi batal dan pemerintah Indonesia tidak memperpanjang kontrak kerja yang selesai tahun 2021, saham Freeport akan semakin jatuh.

Diketahui, saham Freeport di NYSE  bergerak di US$ 14,98  per lembar saham pada perdagangan 23 Agustus. Saham Freeport pernah anjlok ke posisi 14,08 pada 18 Agustus, ketika isu divestasi kembali mengemuka.

Kembali Marwan mengingatkan pemerintah harus bisa tegas terutama terkait dengan smelter dan kepastian pemasukan dari sektor tambang. Jangan sampai, tarik ulur negosiasi yang selama ini terjadi menguntungkan Freeport.

Bila nanti berhasil menguasai 51 persen saham Freeport, pemerintah diminta untuk tidak gegabah. Ini termasuk melakukan divestasi lanjutan melalui penjualan saham ke publik dengan skema IPO. Jika hal ini yang ditempuh, Freeport bakal menjadi pengendali perusahaan mengingat mereka masih menguasai 49 persen saham.

Marwan juga mengingatkan agar smelter yang dijanjikan Freeport benar-benar terwujud, sehingga akan mendorong penerimaan negara dari pajak dan juga royalti dari penambangan di tambang Papua tersebut.

"Seluruh rakyat Indonesia akan mendukung upaya pemerintah untuk menguasai sumber daya alam negeri ini untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan untuk mengerek harga saham perusahaan perusahaan asing,” tandasnya.

Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama sebelumnya mengaku belum sepakat untuk melepas (divestasi) 51 persen saham perusahaan dengan Indonesia.

Dia menyatakan dalam kesepakatan, divestasi merupakan salah satu poin pembicaraan dalam empat poin yang ada. Dalam kesepakatan tersebut, keputusan satu poin dengan poin lain tidak bisa dipisahkan.

"Seperti yang pernah kami sampaikan sebelumnya, semua poin dalam negosiasi adalah satu paket kesepakatan," kata Riza, saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (22/8/2017).

Empat poin dalam kesepakatan tersebut adalah divestasi, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), stabilitas investasi dan perpanjangan kontrak. "Jadi divestasi adalah salah satu dari empat poin negosiasi," ucapnya. Menurutnya, ada satu poin yang belum ada titik temu antara pemerintah dengan Freeport Indonesia sehingga bisa dikatakan belum ada kesepakatan.

Nasib Freeport Jika Tak Ada Kesepakatan

Pemerintah dan PT Freeport Indonesia masih memiliki waktu hingga Oktober 2017, untuk mencari kesepakatan terhadap empat poin yang saat ini sedang dinegosiasikan.

Adapun empat poin yang sedang dinegosiasikan tersebut adalah, pelepasan saham (divestasi) Freeport Indonesia‎ sebesar 51 persen, pembangunan fasilitas pengelolaan dan pemurnian mineral (smelter), perpanjangan masa operasi 2X10 tahun dan stabilitas investasi.

Lalu bagaimana jika negosiasi tersebut ‎tidak menemukan kata sepakat sampai Oktober?

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) ‎Bambang Gatot mengatakan, jika tidak negosiasi yang dilakukan sejak April 2017 tidak menemukan kesepakatan, Freeport akan kembali berstatus kontrak.

Untuk diketahui, saat ini perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut telah menjalani status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara.

‎"Ya kalau dia tidak mau, balik dalam kontrak," kata Bambang, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (22/8/2017).

Bambang menuturkan, jika kembali bersatus kontrak, masa operasi Freeport Indonesia di Papua berakhir pada 2021, untuk operator tambang di Papua berikutnya akan ditentukan pemerintah.

"Samapia 2021, setelah ‎itu terserah pemerintah nanti," tutur dia.

Bambang melanjutkan, jika Freeport tidak ingin melanjutkan masa operasinya pasca 2021, hal tersebut m‎enjadi keuntungan sendiri bagi Indonesia.

"Ya terserah dia, mau bubar juga nggak apa apa. Loh iya kan, mau selesai juga nggak apa-apa kan, kalau dia nggak setuju, aku kembalikan pada pemerintah, bagus," ungkap Bambang.

Negosiasi Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia, dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara.

Dalam payung hukum tersebut menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca 11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal, di antaranya merubah status Kontrak Karya menjadi IUPK, membangun smelter, divestasi 51 persen ke pihak nasional.

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini:





 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya