Liputan6.com, Jakarta - Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) meminta pemerintah mengenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 1 persen terhadap para penulis. Pajak ini sama seperti PPh final yang dikenakan pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Ketua Satupena Nasir Tamara mengatakan, selama ini pajak yang dikenakan kepada para penulis sangat memberatkan. Sebab menurut dia, para penulis tersebut dianggap sebagai orang kaya dengan penghasilan yang tinggi.
"(Pengenaan pajak) Sangat berat, kita dikenakan seperti orang kaya, padahal penulis itu penghasilannya seperti UMKM," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (12/9/2017).
Advertisement
Dia menjelaskan, sektor UMKM dikenakan PPh final dengan tarif hanya 1 persen. Sementara para penulis dikenakan PPh dengan berbagai macam layer.
Baca Juga
Nasir mengungkapkan, jika penghasilannya setahun mencapai Rp 50 juta, maka tarif PPh 5 persen, penghasilan Rp 50 juta-Rp 250 juta tarif PPh-nya 15 persen. Kemudian untuk penghasilan Rp 250 juta-Rp 500 juta tarif PPh-nya 25 persen dan penghasilan setahun di atas Rp 500 juta tarif PPh-nya 30 persen.
"Sedangkan ongkos dari penulis untuk membuat buku yang serius kan besar, dia harus research, harus beli buku karena perpustakaan Indonesia tidak bagus jadi buku-buku harus beli sendiri, harus mewawancarai narasumber, harus kunjungi suatu tempat sebagai tempat inspirasinya misalnya peristiwanya di Jogja, dia harus research ke Jogja, ongkosnya berapa," jelas dia.
Oleh sebab itu, agar ada rasa keadilan bagi para penulis, dirinya meminta agar pemerintah juga menerapkan PPh final 1 persen kepada penulis. Sebab, mayoritas penulis juga memiliki penghasilan yang relatif kecil dan tergantung dari produktivitasnya dalam memproduksi buku.
"Iya (dikenakan PPh 1 persen), itu untuk rasa keadilannya, penulis kan juga bisa disebut profesi bebas, seperti pengacara dan dokter. Tapi kan pengacara dan dokter kan penghasilannya tinggi, sedangkan penulis umumnya penghasilannya UMKM. Kebanyakan bukannya di level menengah, tapi di level kecilnya. Di level menengahnya jarang," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tere Liye
Tere Liye, penulis dan sastrawan Tanah Air, baru saja memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan buku melalui penerbitan buku mainstream. Hal ini dilakukan lantaran dirinya merasakan ketidakadilan pajak yang dibebankan kepada profesi penulis di Indonesia.
Dalam akun resmi Facebook-nya, Tere Liye mengungkapkan, penulis buku di negeri ini merupakan kumpulan orang-orang yang paling dermawan kepada pemerintah. Sebab, meski rumahnya paling kecil, mobilnya sederhana, ternyata mereka membayar pajak lebih tinggi dari profesi lain yang secara karier lebih pasti.
“Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan, surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progres yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu,” tulis Tere Liye di akun Facebook-nya.
Terkait dengan profesi penulis yang seolah dipandang sebelah mata di negeri ini, Maman S Mahayana, kritikus sastra yang juga guru besar sastra Universitas Indonesia kepada Liputan6.com mengatakan, kerja literasi belum mendapat kedudukan yang penting di negeri ini, seolah-olah mereka, para sastrawan dan penulis, tidak memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini.
“Selama negeri ini berdiri, tidak pernah pemerintah memberi penghargaan yang berupa materi yang besar dibandingkan penghargaan kepada atlet atau selebritas, misalnya,” ungkap Maman. Padahal, di mata Maman, peranan seniman dan penulis umumnya tidak kalah penting dibandingkan dengan profesi lain di negeri ini.
Advertisement