Tarif Listrik Tak Naik, PLN Kehilangan Pendapatan Rp 5 Triliun

Kehilangan pendapatan tersebut juga dinilai tidak akan berdampak besar pada keuangan PLN.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 27 Sep 2017, 20:37 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2017, 20:37 WIB
Ilustrasi pendapatan
Ilustrasi pendapatan

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Minera (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan pemerintah tidak akan menaikkan tarif listrik hingga akhir tahun ini. Namun dampaknya, PLN kemungkinan akan kehilangan pendapatan hingga Rp 5 triliun.

Jonan mengaku, tidak adanya kenaikan tarif listrik mengacu pada arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Bapak Presiden sudah memutuskan sampai akhir tahun sekitar Oktober sampai 31 Desember 2017 tarif listrik tetap, tidak naik," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Menurut dia, salah satu pertimbangannya terkait daya beli masyarakat. Dengan tarif listrik yang stabil diharapkan tidak mengganggu daya beli masyarakat yang kini dianggap mengalami penurunan. "Ya pertimbangannya, yaitu pertimbangan daya beli masyarakat," kata dia.

Namun demikian, ada risiko yang harus diambil dari tidak naiknya tarif listrik hingga akhir tahun. Salah satunya yaitu potensi kehilangan pendapatan yang harus diterima PLN.

"Kalau ditanya, bagaimana PLN? Sebenarnya begini, dari analisa ya kemungkinan kalau (tidak naik) akhir tahun mungkin ya PLN itu akan kehilangan pendapatan," ungkap dia.

Kehilangan pendapatan yang mungkin diterima oleh perusahaan plat merah tersebut diperkirakan mencapai Rp 5 triliun. Namun bagi Jonan kehilangan pendapatan tersebut bukan suatu kerugian bagi PLN. Sebab, pendapatan yang diterima PLN jauh lebih besar, yaitu sekitar Rp 300 triliun.

"Bukan rugi, pasti masih untung. Kehilangan pendapatan itu mungkin sekitar Rp 5 triliun, Rp 4 triliun-Rp 5 triliun. Jadi tidak apa-apa. Pendapatannya PLN itu Rp 300 triliun lebih setahun, itu saja,"‎ jelas dia.

Kehilangan pendapatan tersebut juga dinilai tidak akan berdampak besar pada keuangan PLN. Namun demikian, dia jug tetap akan meminta PLN untuk melakukan efisiensi untuk menekan potensi kehilangan pendapatan tersebut.

"Masih oke lah (secara keekonomian). Memang yang kita minta PLN itu harus bisa lebih efisien dalam biaya-biaya perawatan. Kalau energi primer kan memang kewenangan atau campur tangan pemerintah masih besar. Kalau gas kan sudah diatur. Kalau ngatur batubara kan tinggal kita musti rapat dengan sosiasi produsen batubara dan sebagainya," tandas dia.

Surat Sri Mulyani Soal Utang PLN

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya melayangkan surat ke Menteri ‎Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Surat tersebut berisi kekhawatiran tentang kegagalan PT PLN (Persero) ‎membayar utang yang berisiko pada keuangan negara.

Seperti yang dikutip dari surat Menteri Keuangan bernomor‎ S-781/MK.08/2017, soal Perkembangan Risiko Keuangan Negara atas Penugasan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Rabu (28/9/2017), Sri Mulyani menyampaikan lima poin penting yang harus diperhatikan Menteri Rini dan Menteri Jonan.

Pertama mengenai kinerja PLN ditinjau dari sisi keuangan terus mengalami penurunan, seiring dengan semakin besarnya kewajiban korporasi untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang‎ tidak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.

Hal ini menyebabkan dalam tiga tahun terakhir Kementerian Keuangan harus mengajukan permintaan walver pada lender PLN, sebagai dampak terlanggarnya kewajiban pemenuhan covenant PLN dalam perjanjian pinjaman, untuk menghindari cross default atas pinjaman PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.

Kedua, terbatasnya internal fund PLN untuk melakukan investasi, dalam melaksanakan penugasan pemerintah berdampak pada ketergantungan PLN dari pinjaman, baik melalui pinjaman kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, maupun pinjaman dari lembaga keuangan Internasional.

Ketiga, berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target, adanya kewajiban pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.

Keempat, Sri Mulyani mengungkapkan, dengan mempertimbangkan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan oleh pelangan dan subsidi listrik dari pemerintah, kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan adanya regulasi yang mendorong penurunan harga biaya produksi listrik.

"Selain itu, kami mengharapkan saudara dapat mendorong PLN untk melakukan efisiensi biaya operasi, terutama energi primer guna mengantisipasi peningkatan risiko gagal bayar di tahun-tahun mendatang," lanjut Sri Mulyani dalam poin keempat surat tersebut.

Kelima, terkait dengan penugasan program 35 GW, Sri Mulyani berpendapat perlu dilakukan penyesuaian terkait target investasi PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi cashflow operasi, tingginya outlook debt maturity profile, serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan Penyertaan Modal Negara (PMN).

"Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan sumber risiko fiskal pemerintah," tutup Sri Mulyani.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, belum bisa memberikan banyak komentar mengenai hal tersebut. Dadan mengaku akan memeriksa ke direktorat terkait. "Nanti saya cek ya, seharusnya sudah," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya